Selidik & Lidik
Alasan Ilmu Hukum Dasar Perlu Masuk Mata Kuliah Semua Program Studi
A. Penyelidikan dan Penyidikan Terhadap Tindak Pidana Cyber Crime
Penyelidikan dan penyidikan dijelaskan pada Undang-Undang No. 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana sebagai hukum formil pidana secara umum, dan selain KUHAP juga dalam Undang-Undang No. 2 Tahun 2002 tentang Kepolisian Negara Republik Indonesia menjelaskan mengenai penyelidikan dan penyidikan yang mana penjelasannya juga merujuk pada KUHAP. Pada penyidikan tindak pidana, Polri menggunakan parameter alat bukti yang sah sesuai dengan Pasal 184 KUHAP yang dikaitkan dengan segi tiga pembuktian/evidence triangle untuk memenuhi aspek legalitas dan aspek legitimasi untuk membuktikan tindak pidana yang terjadi, adapun rangkaian kegiatan penyidik dalam melakukan penyidikan adalah Penyelidikan, Penindakan, pemeriksaan dan penyelesaian berkas perkara.
1. Penyelidikan
Penyelidikan menurut Undang-Undang No. 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana, tepatnya pada pasal 1 angka 5 yang disebutkan, “penyelidikan adalah serangkaian tindakan penyelidik untuk mencari dan menemukan suatu perisiwa yang diduga sebagai tindak pidana guna menentukan dapat atau tidaknya dilakukan penyidikan menurut cara yang diatur dalam undang-undang ini”. Pada Undang-Undang No. 2 Tahun 2002 tentang Kepolisian Negara Republik Indonesia juga dijelaskan mengenai penyelidikan yaitu tepatnya pada pasal 1 angka 9 yang mana penjelasan mengenai penyelidikan tersebut merujuk pada KUHAP dan disebutkan juga sama persis dengan KUHAP pasal 1 angka 5 tersebut.
Penyelidikan dilakukan oleh seorang penyelidik yang mana penjelasan mengenai penyelidik juga dijelaskan pada KUHAP tepatnya pada pasal 1 angka 4 yang disebutkan “Penyelidik adalah pejabat polisi Negara Republik Indonesia yang diberi wewenang oleh undang-undang ini untuk melakukan penyelidikan”. Pada Undang-Undang No. 2 Tahun 2002 tentang Kepolisian Negara Republik Indonesia juga dijelaskan mengenai penyelidik yaitu tepatnya pada pasal 1 angka 8 yang disebutkan sama persis seperti pasal 1 angka 4 KUHAP dikarenakan penjelasannya merujuk pada KUHAP. Tahap penyelidikan merupakan tahap pertama yang dilakukan oleh penyelidik dalam melakukan penyelidikan tindak pidana serta tahap tersulit dalam proses penyidikan, dikarenakan dalam tahap ini penyelidik harus dapat membuktikan tindak pidana yang terjadi serta bagaimana dan apa sebab- sebab tindak pidana tersebut, untuk dapat menentukan bentuk laporan polisi yang akan dibuat dan dapat dilanjukan ketahap berikutnya yaitu tahap penyidikan. Pada kasus pidana transnasional mengenai informasi untuk melakukan penyelidikan biasanya didapat dari NCB/Interpol yang menerima surat pemberitahuan atau laporan dari negara lain yang kemudian diteruskan ke Unit cyber crime/ satuan yang ditunjuk. Dalam penyelidikan kasus-kasus cyber crime yang modusnya seperti kasus carding metode yang digunakan hampir sama dengan penyelidikan dalam menangani kejahatan narkotika terutama dalam undercover dan control delivery. Petugas setelah menerima informasi atau laporan dari Interpol atau merchant yang dirugikan melakukan koordinasi dengan pihak shipping untuk melakukan pengiriman barang. Permasalahan yang ada dalam kasus seperti ini adalah laporan yang masuk terjadi setelah pembayaran barang ternyata ditolak oleh bank dan barang sudah diterima oleh pelaku, disamping adanya kerjasama antara carder dengan karyawan shipping sehingga apabila polisi melakukan koordinasi informasi tersebut akan bocor dan pelaku tidak dapat ditangkap sebab identitas yang biasanya dicantumkan adalah palsu.
2. Penyidikan
Penyidikan menurut Undang-Undang No. 8 Tahun 1981 tenang Hukum Acara Pidana, tepatnya pada pasal 1 angka 2 yang disebutkan “Penyidikan adalah serangkaian tindakan penyidik dalam hal dan menurut cara yang diatur dalam undang-undang ini untuk mencari serta mengumpulkan bukti yang dengan bukti itu membuat terang tentang tindak pidana yang terjadi dan guna menemukan tersangkanya”. Pada Undang- Undang No. 2 Tahun 2002 tentang Kepolisian Negara Republik Indonesia juga dijelaskan mengenai penyidikan yaitu tepatnya pada pasal 1 angka 13 yang disebutkan sama persis dengan pasal 1angka 2 KUHAP dikarenakan penjelasannya merujuk pada KUHAP.
Penyidikan adalah tahapan pendalaman pada suatu tindak pidana yang dilakukan setelah melewati tahapan penyelidikan yang mana sudah memenuhi syarat bahwa laporan yang dilaporkan oleh apara penegak hukum adalah bener suatu tindak pidana dan sudah memenuhi dalam hal alat/ barang bukti, tahapan penyidikan ini juga tahapan yang cukup rumit khususnya pada tindak pidana cyber crime. Pada kasus hacking atau memasuki jaringan komputer orang lain secara ilegal dan melakukan modifikasi (deface), penyidikannya dihadapkan problematika yang rumit, terutama dalam hal pembuktian, banyak saksi maupun tersangka yang berada di luar yurisdiksi hukum Indonesia, sehingga untuk melakukan pemeriksaan maupun penindakan amatlah sulit, belum lagi kendala masalah bukti-bukti yang amat rumit terkait dengan teknologi informasi dan kode- kode digital yang membutuhkan sumber daya manusia yang berkompeten serta peralatan komputer forensik yang baik.
Pada kasus-kasus lain seperti situs porno maupun perjudian para pelaku melakukan hosting/pendaftaran diluar negeri yang memiliki yuridiksi yang berbeda dengan negara kita sebab pornografi secara umum dan perjudian bukanlah suatu kejahatan di Amerika dan Eropa walaupun alamat yang digunakan berbahasa Indonesia dan operator dari pada website ada di Indonesia sehingga kepolisian tidak dapat melakukan tindakan apapun terhadap mereka sebab website tersebut bersifat universal dan dapat di akses dimana saja, banyak rumor beredar yang menginformasikan adanya penjebolan bank-bank swasta secara online oleh hacker tetapi korban menutup-nutupi permasalahan tersebut. Hal ini berkaitan dengan kredibilitas bank bersangkutan yang takut apabila kasus ini tersebar akan merusak kepercayaan terhadap bank tersebut oleh masyarakat. Dalam hal ini penyidik tidak dapat bertindak lebih jauh sebab untuk mengetahui arah serangan harus memeriksa server dari bank yang bersangkutan, bagaimana kita akan melakukan pemeriksaan jika kejadian tersebut disangkal oleh bank.
B. Pengaturan Hukum Penyidikan Tindak Pidana Cyber Crime
Peraturan perundang-undangan yang menjadi landasan dalam penanganan/penyidikan tindak pidana cyber crime, baik dari segi materil dan formil yaitu :
1. Pengaturan Penyidikan Tindak Pidana Siber Materil di Indonesia
a. Undang-undang Nomor 19 Tahun 2016 Tentang Perubahan Atas Undang-undang Nomor 11 Tahun 2008 Tentang Informasi dan Transaksi Elektronik.
1) Pasal 43 ayat (1) Selain Penyidik Pejabat Polisi Negara Republik Indonesia, Pejabat Pegawai Negeri Sipil tertentu di lingkungan Pemerintah yang lingkup tugas dan tanggung jawabnya di bidang Teknologi Informasi dan Transaksi Elektronik diberi wewenang khusus sebagai penyidik sebagaimana dimaksud dalam Undang- Undang tentang Hukum Acara Pidana untuk melakukan penyidikan tindak pidana di bidang Teknologi Informasi dan Transaksi Elektronik.
2) Pasal 43 ayat (2) Penyidikan di bidang Teknologi Informasi dan Transaksi Elektronik sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan dengan memperhatikan perlindungan terhadap privasi, kerahasiaan, kelancaran layanan publik, dan integritas atau keutuhan data sesuai dengan ketentuan peraturan perundangundangan.
3) Pasal 43 ayat(3) Penggeledahan dan/atau penyitaan terhadap Sistem Elektronik yang terkait dengan dugaan tindak pidana di bidang Teknologi Informasi dan Transaksi Elektronik dilakukan sesuai dengan ketentuan hukum acara pidana.
4) Pasal 43 ayat (4) Dalam melakukan penggeledahan dan/atau penyitaan sebagaimana dimaksud pada ayat (3), penyidik wajib menjaga terpeliharanya kepentingan pelayanan umum.
5) Pasal 43 ayat (5) Penyidik Pegawai Negeri Sipil sebagaimana dimaksud pada ayat (1) berwenang:
a) menerima laporan atau pengaduan dari seseorang tentang adanya tindak pidana di bidang Teknologi Informasi dan Transaksi Elektronik;
b) memanggil setiap Orang atau pihak lainnya untuk didengar dan diperiksa sebagai tersangka atau saksi sehubungan dengan adanya dugaan tindak pidana di bidang Teknologi Informasi dan Transaksi Elektronik;
c) melakukan pemeriksaan atas kebenaran laporan atau keterangan berkenaan dengan tindak pidana di bidang Teknologi Informasi dan Transaksi Elektronik;
d) melakukan pemeriksaan terhadap Orang dan/atau Badan Usaha yang patut diduga melakukan tindak pidana di bidang Teknologi Informasi dan Transaksi Elektronik;
e) melakukan pemeriksaan terhadap alat dan/atau sarana yang berkaitan dengan kegiatan Teknologi Informasi yang diduga digunakan untuk melakukan tindak pidana di bidang Teknologi Informasi dan Transaksi Elektronik;
f) melakukan penggeledahan terhadap tempat tertentu yang diduga digunakan sebagai tempat untuk melakukan tindak pidana di bidang Teknologi Informasi dan Transaksi Elektronik;
g) melakukan penyegelan dan penyitaan terhadap alat dan/atau sarana kegiatan Teknologi Informasi yang diduga digunakan secara menyimpang dari ketentuan peraturan perundangundangan;
h) membuat suatu data dan/atau Sistem Elektronik yang terkait tindak pidana di bidang Teknologi Informasi dan Transaksi Elektronik agar tidak dapat diakses;
i) meminta informasi yang terdapat di dalam Sistem Elektronik atau informasi yang dihasilkan oleh Sistem Elektronik kepada Penyelenggara Sistem Elektronik yang terkait dengan tindak pidana di bidang Teknologi Informasi dan Transaksi Elektronik;
j) meminta bantuan ahli yang diperlukan dalam penyidikan terhadap tindak pidana di bidang Teknologi Informasi dan Transaksi Elektronik; dan/atau
k) mengadakan penghentian penyidikan tindak pidana di bidang Teknologi Informasi dan Transaksi Elektronik sesuai dengan ketentuan hukum acara pidana.
6) Pasal 43 ayat (6) Penangkapan dan penahanan terhadap pelaku tindak pidana di bidang Teknologi Informasi dan Transaksi Elektronik dilakukan sesuai dengan ketentuan hukum acara pidana.
7) Pasal 43 ayat (7) Penyidik Pejabat Pegawai Negeri Sipil sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dalam melaksanakan tugasnya memberitahukan dimulainya penyidikan kepada Penuntut Umum melalui Penyidik Pejabat Polisi Negara Republik Indonesia. Pasal 43 ayat (7a) Dalam hal penyidikan sudah selesai, Penyidik Pejabat Pegawai Negeri Sipil sebagaimana dimaksud pada ayat (1) menyampaikan hasil penyidikannya kepada Penuntut Umum melalui Penyidik Pejabat Polisi Negara Republik Indonesia.
8) Pasal 43 ayat (8) Dalam rangka mengungkap tindak pidana Informasi Elektronik dan Transaksi Elektronik, penyidik dapat bekerja sama dengan penyidik negara lain untuk berbagi informasi dan alat bukti sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
Berdasarkan pasal- pasal dari undang-undang ITE tersebut dalam yang mana mengatur mengenai tugas dan wewenang penyidik, kode etik dalam proses penyidikan, dan tahapan-tahapan dalam penyidikan, hingga mengenai koordinasi penyidik dalam penanggulangan tindak pidana cyber crime, dari pasal-pasal tersebut sebagaimana sebagai hukum materil
dalam tindak pidana cyber crime menujukan sudah cukup baik dalam hal pengaturan penyidikan yang mana telah mengatur proses penyidikan secara rinci sehingga pihak penyidik tidak kesulitan dalam hal melakukan tugasnya melakukan proses penyidikan sesuai aturan yang berlaku.
b. Peraturan Kepala Kepolisian Negara RI Nomor 14 Tahun 2012 Tentang Manajemen Penyidikan
1) Bab 2, Bagian Kesatu, Dasar, yang mengatur mengenai proses penyidikan tindak pidana, yang mana di jelaskan pada pasal 4 hingga pasal 8.
2) Bab 2, Bagian Kedua, yang mengatur mengenai administrasi penyelidikan dan penyidikan, yang mana di jelaskan pada pasal 9 dan pasal 10.
3) Bab 2, Bagian Ketiga, yang mengatur mengenai penyelidikan, yang mana di jelaskan pada pasal 11 hingga pasal 13.
4) Bab 2, Bagian Keempat, yang mengatur mengenai penyidikan, yang mana di jelaskan pada pasal 14 dan pasal 15.
5) Bab 3, Bagian Kesatu, yang mengatur mengenai perencanaan, yang mana di jelaskan pada pasal 16 hingga pasal 19.
6) Bab 3, Bagian Kedua, yang mengatur mengenai pengorganisasian, yang mana di jelaskan pada pasal 20 hingga pasal 23.
7) Bab 3, Bagian Ketiga, Paragraf 1, yang mengatur mengenai pelaksanaan penyelidikan, yang mana di jelaskan pada pasal 24.
8) Bab 3, Bagian Ketiga, Paragraf 2, yang mengatur mengenai SPDP (surat perintah dimulainya penyidikan), yang mana di jelaskan pada pasal 25.
9) Bab 3, Bagian Ketiga, Paragraf 3, yang mengatur mengenai upaya paksa dalam proses penyidikan, yang mana di jelaskan pada pasal 26 hingga pasal 62.
10) Bab 3, Bagian Ketiga, Paragraf 4, yang mengatur mengenai pemeriksaan dalam proses penyidikan, yang mana di jelaskan pada pasal 63 hingga pasal 68.
11) Bab 3, Bagian Ketiga, Paragraf 5, yang mengatur mengenai gelar perkara, yang mana dijelaskan pada pasal 69 hingga pasal 72.
12) Bab 3, Bagian Ketiga, Paragraf 6, yang mengatur mengenai penyelesaian berkas perkara, yang mana dijelaskan pada pasal 73.
13) Bab 3, Bagian Ketiga, Paragraf 7, yang mengatur mengenai penyerahan berkas perkara kepada JPU (jaksa penuntut umum), yang mana dijelaskan pada pasal 74.
14) Bab 3, Bagian Ketiga, Paragraf 8, yang mengatur mengenai penyerahan tersangka dan barang bukti, yang mana dijelaskan pada pasal 75.
15) Bab 3, Bagian Ketiga, Paragraf 9, yang mengatur mengenai penghentian penyidikan, yang mana di jelaskan pada pasal 76 dan pasal 77.
Berdasarkan pasal-pasal dari Peraturan Kapolri No. 14 Tahun 2012 Tentang Manajemen Penyidikan tersebut diatas dapat juga dijadikan sebagai dasar hukum dalam hal penyidikan dalam tindak pidana khusus seperti pada tindak pidana cyber crime, dikarenakan peraturan tersebut mengatur mengenai manajemen penyidikan secara umum yang mana mengatur mengenai proses penyelidikan dan penyidikan tindak pidana, administrasi penyelidikan dan penyidikan, pengaturan mengenai SPDP (surat printah dimulainya penyidikan), penyerahan berkas perkara pada jaksa penuntut umum, penyerahan tersangka dan alat bukti dan hingga pada tahap akhir yaitu pemberhentian penyidikan.
c. Peraturan Menteri Komunikasi dan Informatika RI Nomor 7 Tahun 2016 Tentang Administrasi Penyidikian dan Penindakan Tindak Pidana di bidang Teknologi Informasi dan Transaksi Elektronik
1) Bab 6, Bagian Kesatu, yang mengatur mengenai bentuk kegiatan dalam penyidikan, yang mana dijelaskan pada pasal 19.
2) Bab 6, Bagian Kedua, yang mengatur mengenai rencana penyidikan dan penindakan, yang mana dijelaskan pada pasal 20 hingga pasal 22.
3) Bab 6, Bagian Ketiga, yang mengatur mengenai pengorganisasian, yang mana diatur dalam pasal 23 hingga pasal 24.
4) Bab 6, Bagian Keempat, yang mengatur mengenai pelaksanaan penyidikan, Paragraf 1 pemberitahuan dimulainya penyidikan, yang mana dijelaskan pada pasal 25 hingga pasal 28.
5) Bab 6, Bagian Keempat, Paragraf 2, yang mengatur mengenai pengolahan TKP ( tempat kejadian perkara), yang mana dijelaskan pada pasal 29.
6) Bab 6, Bagian Keempat, Paragraf 3, yang mengatur mengenai pemanggilan, yang mana dijelaskan pada pasal 30 dan pasal 31.
7) Bab 6, Bagian Keempat, Paragraf 4, yang mengatur mengenai penangkapan, yang mana dijelaskan pada pasal 32 dan pasal 33.
8) Bab 6, Bagian Keempat, Paragraf 5, yang mengatur mengenai penahanan, yang mana dijelaskan pada pasal34 dan pasal 35.
9) Bab 6, Bagian Keempat, Paragraf 6, yang mengatur mengenai penggeledahan, yang mana dijelaskan pada pasal 36 hingga pasal 38.
10) Bab 6, Bagian Keempat, Paragraf 7, yang mengatur mengenai penyitaan, yang mana dijelaskan pada pasal 39 hingga pasal 41.
11) Bab 6, Bagian Keempat, Paragraf 8, yang mengatur mengenai pemeriksaan, yang mana dijelaskan pada pasal 42 hingga pasal 45.
12) Bab 6, Bagian Keempat, Paragraf 9, yang mengatur mengenai pemeriksaaan dan pelaporan bukti elektronik, yang mana dijelaskan pada pasal 46 dan pasal 47.
13) Bab 6, Bagian Keempat, Paragraf 11, yang mengatur mengenai penyelesaian berkas, yang mana dijelaskan pada pasal 49.
14) Bab 6, Bagian Keempat, Paragraf 12, yang mengatur mengenai administrasi pemberkasan, yang mana dijelaskan pada pasal 50 hingga pasal 51.
15) Bab 6, Bagian Keempat, Paragraf 13, yang mengatur mengenai penyerahan perkara, yang mana dijelaskan pada pasal 52 hingga pasal 54.
16) Bab 6, Bagian Keempat, Paragraf 14, yang mengatur mengenai penghentian penyidikan, yang mana dijelaskan pada pasal 55 dan pasal 56.
17) Bab 6, Bagian Keempat, Paragraf 15, yang mengatur mengenai pelimpahan penyidikan, yang mana dijelaskan pada pasal 57.
Berdasarkan pasal- pasal dari Peraturan Menteri Komunikasi dan Informatika RI No.7 Tahun 2016 tersebut diatas Tentang Administrasi Penyidikian dan Penindakan Tindak Pidana Dibidang Teknologi Informasi dan Transaksi Elektronik, sebagai pedoman/dasar hukum dalam proses penyidikan oleh penyidik khususnya pada tindak pidana cyber crime yang mana peraturan tersebut mengatur mengenai kegiaan penyidikan, pengorganisasian, pelaksanaan penyidikan, pengolahan TKP (tempat kejadian perkara), proses penyelidikan dan penyidikan, administrasi pemberkasan, penyerahan berkas perkara kepada JPU, hingga mengenai penghentian proses penyidikan. Peraturan Peraturan Menteri Komunikasi dan Informatika RI No.7 Tahun 2016 tersebut diatas Tentang Administrasi Penyidikian dan Penindakan Tindak Pidana Dibidang Teknologi Informasi dan Transaksi Elektronik ini berlaku pada tahun 2016 yang mana bersamaan dengan amandemen/ perubahan undang- undang ITE yaitu ditahun yang sama tentu peraturan ini saling
berkaitan dan bertujuan untuk lebih mendukung proses penyelidikan dan penyidikan pada tindak pidana teknologi informasi (cyber crime).
2. Pengaturan Penyidikan Tindak Pidana Siber Formil di Indonesia
Pada UU ITE Selain mengatur tindak pidana siber materil, UU ITE mengatur tindak pidana siber formil, khususnya dalam bidang penyidikan. Pasal 42 UU ITE mengatur bahwa penyidikan terhadap tindak pidana cyber crime, dalam hal penyidikan pada tindak pidana cyber crime di atur dalam UU ITE dan diperluas dalam PERMENKOMINFO NO. 7 Tahun 2016 Tentang Administrasi Penyidikan dan Penindakan Tindak Pidana di Bidang Teknologi Informasi dan Transaksi Elektronik, dan dilakukan berdasarkan ketentuan dalam kitab undang- undang hukum acara pidana (KUHAP). Artinya, ketentuan penyidikan dalam KUHAP tetap berlaku sepanjang tidak diatur lain dalam UU ITE. Kekhususan UU ITE dalam penyidikan antara lain:
a. Penyidik yang menangani tindak pidana siber ialah dari instansi Kepolisian Negara RI atau Pejabat Pegawai Negeri Sipil (“PPNS”) Kementerian Komunikasi dan Informatika;
b. Penyidikan dilakukan dengan memperhatikan perlindungan terhadap privasi, kerahasiaan, kelancaran layanan publik, integritas data, atau keutuhan data;
c. Penggeledahan dan/atau penyitaan terhadap sistem elektronik yang terkait dengan dugaan tindak pidana harus dilakukan sesuai dengan ketentuan hukum acara pidana;
d. Dalam melakukan penggeledahan dan/atau penyitaan sistem elektronik, penyidik wajib menjaga terpeliharanya kepentingan pelayanan umum.
Ketentuan penyidikan dalam UU ITE dan perubahannya berlaku pula terhadap penyidikan tindak pidana siber dalam arti luas. Sebagai contoh, dalam tindak pidana perpajakan, sebelum dilakukan penggeledahan atau penyitaan terhadap server bank, penyidik harus memperhatikan kelancaran layanan publik, dan menjaga terpeliharanya kepentingan pelayanan umum sebagaimana diatur dalam UU ITE dan perubahannya. Apabila dengan mematikan server bank akan mengganggu pelayanan publik, tindakan tersebut tidak boleh dilakukan.
Prosedur untuk menuntut secara pidana terhadap perbuatan tindak pidana siber, secara sederhana dapat dijelaskan sebagai berikut:
a. Korban yang merasa haknya dilanggar atau melalui kuasa hukum, datang langsung membuat laporan kejadian kepada penyidik POLRI pada unit/bagian cyber crime atau kepada penyidik PPNS pada Sub Direktorat Penyidikan dan Penindakan, Kementerian Komunikasi dan Informatika. Selanjutnya, penyidik akan melakukan penyelidikan yang dapat dilanjutkan dengan proses penyidikan atas kasus bersangkutan Hukum Acara Pidana dan ketentuan dalam UU ITE.
b. Setelah proses penyidikan selesai, maka berkas perkara oleh penyidik akan dilimpahkan kepada penuntut umum untuk dilakukan penuntutan di muka pengadilan. Apabila yang melakukan penyidikan adalah PPNS,
maka hasil penyidikannya disampaikan kepada penuntut umum melalui penyidik POLRI.
C. Penyidik dan Wewenang Penyidik Tindak Pidana Cyber Crime
1. Penyidik Tindak Pidana Cyber Crime
Pada tindak pidana cyber crime yang mana mana tindak pidana ini adalah tindak pidana khusus yang terlepas dengan teknologi informasi, maka dalam hal ini dalam hal penyidik pada tindak pidana cyber crime ini juga dikhususkan yaitu PPNS (penyidik pegawai negeri sipil) yang diangkat berdasarkan undang- undang yang berlaku agar dalam proses penyidikan dapat dilakukan secara maksimal dan sesuai kompetensinya dan penyidik juga dapat bekerja secara professional, dalam hal ini mengenai penyidik khususnya tentang PPNS kita dapat melihat berdasarkan undang- undang yang berlaku yang dijelaskan sebagai berikut :
a. Penyidik Berdasarkan Ketentuan KUHAP (Kitab Undang- Undang Hukum Acara Pidana)
Pada kitab undang-undang hukum acara pidana tepatnya pada pasal 6 dan pasal 7 mengenai penyidik dalam tindak pidana, yang mana pada tindak pidana khusus maka diatur berdasarkan undang- undang yang berlaku berikut penjelasannya:
Pasal 6 ayat (1) dan (2) KUHAP :
(1) Penyidik adalah :
a. pejabat polisi negara Republik Indonesia;
b. pejabat pegawai negeri sipil tertentu yang diberi wewenang khusus oleh undang-undang.
(2) Syarat kepangkatan pejabat sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) akan diatur lebih lanjut dalam peraturan pemerintah.
Pasal 7 ayat (1), (2), dan (3) KUHAP :
(1) Penyidik sebagaimana dimaksud dalam Pasal 6 ayat (1) huruf a karena kewajibannya mempunyai wewenang :
a.menerima-laporan atau pengaduan dari seorang tentang adanya tindak pidana;
b.melakukan tindakan pertama pada saat di tempat kejadian;
c.menyuruh berhenti seorang tersangka dan memeriksa tanda pengenal diri tersangka;
d.melakukan penangkapan, penahanan, penggeledahan dan penyitaan;
e.melakukan pemeriksaan dan penyitaan surat;
f. mengambil sidik jari dan memotret seorang;
g.memanggil orang untuk didengar dan diperiksa sebagai tersangka atau saksi;
h.mendatangkan orang ahli yang diperlukan dalam hubungannya dengan pemeriksaan perkara;
i. mengadakan penghentian penyidikan;
j. mengadakan tindakan lain menurut hukum yang bertanggung jawab.
(2) Penyidik sebagaimana dimaksud dalam Pasal 6 ayat (1) huruf b mempunyai wewenang sesuai dengan undang-undang yang menjadi dasar hukumnya masing-masing dan dalam pelaksanaan tugasnya berada dibawah koordinasi dan pengawasan penyidik tersebut dalam Pasal 6 ayat (1) huruf a.
(3) Dalam melakukan tugasnya sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dan ayat (2), penyidik wajib menjunjung tinggi hukum yang berlaku.
Berdasarkan pasal-pasal tersebut diatas menjelaskan bahwa penyidik adalah dari kepolisian dan PPNS dan pada tindak pidana khusus yaitu penyidik pegawai negeri sipil sesuai yang dijelaskan pada pasal 6 ayat (1) huruf b KUHAP dan diperjelas pada pasal 7 ayat (2) KUHAP menyambung pasal 6 ayat (1) huruf b tersebut mengenai wewenang penyidik yang mana diatur pada undang-undang yang menjadi dasar hukum, yang mana pada tindak pidana cyber crime sendiri diatur pada UU ITE.
b. Penyidik Berdasarkan Ketentuan Undang- Undang Nomor 19 Tahun 2016 Tentang Perubahan Atas Undang- Undang Nomor 11 Tahun 2008 Tentang Informasi dan Transaksi Elektronik.
Penyidik pada UU ITE ini dijelaskan pasal 42 dan pasal 43 yang mana dalam hal ini dalam melakukan penyidikan pada tindak pidana cyber crime yaitu penyidik pegawai negeri sipil berikut penjelasanya:
Pasal 42 :
“Penyidikan terhadap tindak pidana sebagai mana dimaksud dalam undang- undang ini, dilakukan berdasarkan ketentuan dalam hukum acara pidana dan ketentuan dalam undang- undang ini.”
Pasal 43 :
(1) Selain Penyidik Pejabat Polisi Negara Republik Indonesia, Pejabat Pegawai Negeri Sipil tertentu di lingkungan Pemerintah yang lingkup tugas dan tanggung jawabnya di bidang Teknologi Informasi dan Transaksi Elektronik diberi wewenang khusus sebagai penyidik sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang tentang Hukum Acara Pidana untuk melakukan penyidikan tindak pidana di bidang Teknologi Informasi dan Transaksi Elektronik.
(2) Penyidikan di bidang Teknologi Informasi dan Transaksi Elektronik sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan dengan memperhatikan perlindungan terhadap privasi, kerahasiaan, kelancaran layanan publik, dan integritas atau keutuhan data sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
Berdasarkan penjelasan dari pasal 42 dan pasal 43 UU ITE tersebut diatas tentang penyidik dalam hal tindak pidana cyber crime adalah penyidik pegawai negeri sipil (PPNS) yang mana mempunyai wewenang khusus sesuai undang- undang yang berlaku dan hal tersebut juga telah diatur dalam kitab undang- undang hukum acara
pidana untuk melakukan penyidikan tindak pidana di bidang Teknologi Informasi dan Transaksi Elektronik.
c. Penyidik Berdasarkan Ketentuan Peraturan Menteri Komunikasi dan Informatika Republik Indonesia Nomor 7 Tahun 2016 Tentang Administrasi Penyidikan dan Penindakan Tindak Pidana di Bidang Teknologi Informasi dan Transaksi Elektronik.
Ketentuan mengenai penyidik dalam PERMENKOMINFO ini tentunya meperluas dari ketentuan dari UU ITE dalam hal penyidik dan penyidikan dalam tindak pidana cyber crime yang merupakan tindak pidana khusus dan penyidiknya juga merupakan penyidik khusus yaitu dari PPNS, berikut penjelasan mengenai penyidik dalam tindak pidana cyber crime adalah PPNS :
Pasal 1 angka 1 :
Dalam Peraturan Menteri ini yang dimaksud dengan:
1. Penyidik Pegawai Negeri Sipil Teknologi Informasi dan Transaksi Elektronik yang selanjutnya disingkat PPNS adalah Pegawai Negeri Sipil dalam lingkup Kementerian Komunikasi dan Informatika yang diberi wewenang khusus untuk melakukan penyidikan tindak pidana Teknologi Informasi dan Transaksi Elektronik berdasarkan Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik dan ditetapkan berdasarkan peraturan perundang-undangan.
Pasal 3 :
Administrasi Penyidikan dan Penindakan Tindak Pidana di
Bidang Teknologi Informasi dan Transaksi Elektronik ditetapkan dengan tujuan untuk:
a. memberikan pedoman bagi PPNS dalam pelaksanaan Penyidikan dan penindakan Tindak Pidana di Bidang Teknologi Informasi dan Transaksi Elektronik maupun koordinasi dengan pihak terkait baik internal maupun eksternal; dan
b. terwujudnya pelaksanaan Penyidikan dan penindakan yang bersinergi dan profesional antara PPNS dengan pihak yang terkait.
Pasal 4 :
Ruang lingkup Peraturan Menteri ini terdiri atas:
a. kedudukan dan lingkup tugas dan tanggung jawab PPNS;
b. Pemeriksaan kebenaran laporan atau Pengaduan atau keterangan;
c. Penyidikan dan penindakan oleh PPNS; dan
d. koordinasi eksternal.
Pasal 5 :
(1) PPNS berada di bawah pembinaan Menteri melalui Direktur Jenderal.
(2) Dalam melaksanakan tugas dan tanggung jawabnya, PPNS di bawah koordinasi Atasan PPNS.
(3) Atasan PPNS diangkat dan diberhentikan oleh Direktur Jenderal.
(4) Atasan PPNS sebagaimana dimaksud pada ayat (2) berwenang untuk mengorganisir sumber daya yang meliputi:
a. personil PPNS;
b. sarana dan prasarana;
c. anggaran; dan
d. sumber daya lain yang relevan.
Berdasarkan penjelasan pasal-pasal tersebut diatas yang mana sudah menjelasakan mengenai penyidik PPNS, dalam hal ini Pegawai Negeri Sipil merupakan dalam lingkup Kementerian Komunikasi dan Informatika yang diberi wewenang khusus untuk melakukan penyidikan tindak pidana teknologi informasi dan transaksi elektronik berdasarkan UU ITE, dan dalam PERMENKOMINFO ini juga menjelaskan secara jelas mengenai administrasi penyidikan dan Penindakan Tindak Pidana di Bidang Teknologi Informasi dan Transaksi Elektronik dan mengenai semua tahapan keperluan penyidikan yang dilakukan PPNS dalam penanganan tindak pidana cyber crime.
2. Wewenang Penyidik Dalam Tindak Pidana Secara Umum Berdasarkan Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 Tentang Hukum Acara Pidana (KUHAP)
Pada Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 Tentang Hukum Acara Pidana (KUHAP) sebagai hukum formil dalam hukum pidana menjelaskan mengenai wewenang penyidik secara umum yang mana menjadi rujukan pada proses penegakan hukum pidana umum dan khusus yaitu termasuk pada tindak pidana cyber crime, walaupun pada undang-
undang ITE juga sudah menjelaskan mengenai wewenang penyidik dalam proses penyidikan.
Pada KUHAP wewenang penyidik dijelaskan pada Pasal 7 ayat (1), yang berbunyi “ penyidik sebagaimana dimaksud dalam pasal 6 ayat (1) huruf a karena kewajibannya mempunyai wewenang :
a. menerima laporan atau pengaduan dari seorang tentang adanya tindak pidana;
b. melakukan tindakan pertama pada saat di tempat kejadian;
c. menyuruh berhenti seorang tersangka dan memeriksa tanda pengenal diri tersangka ;
d. melakukan penangkapan, penahanan, penggeledahan dan penyitaan;
e. melakukan pemeriksaan dan penyitaan surat;
f. mengambil sidik jari dan memotret seorang;
g. memanggil orang untuk didengar dan diperiksa sebagai tersangka atau saksi;
h. mendatangkan orang ahli yang diperlukan dalam hubungannya dengan pemeriksaan perkara;
i. mengadakan penghentian penyidikan;
j. mengadakan tindakan lain menurut hukum yang bertanggung jawab.”
Pada Pasal 7 ayat (2) KUHAP, yang berbunyi “penyidik sebagaimana dimaksud dalam Pasal 6 ayat (1) huruf b mempunyai wewenang sesuai Penyidik sebagaimana dimaksud dalam Pasal 6 ayat (1) huruf a”.
Pada Pasal 7 ayat (3) KUHAP, “Dalam melakukan tugasnya sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dan ayat (2), penyidik wajib menjunjung tinggi hukum yang berlaku”.
Penjelasan pada Pasal 7 tersebut diatas tepatnya pada ayat (1) yaitu wewenang penyidik untuk tindak pidana umum yang mana belum ada undang- undang khusus yang mengaturnya, tetapi jika tindak tindak pidana tersebut sudah termasuk tindak pidana khusus dan sudah ada aturan khusus yang mengaturnya maka merujuk pada Pasal 7 ayat (2) KUHAP, yang berbunyi “penyidik sebagaimana dimaksud dalam Pasal 6 ayat (1) huruf b mempunyai wewenang sesuai Penyidik sebagaimana dimaksud dalam Pasal 6 ayat (1) huruf a, yang mana bunyi Pasal 6 ayat
(1) huruf b yaitu “pejabat pegawai negeri sipil tertentu yang diberi wewenang khusus oleh undang- undang, jadi misalnya pada tindak pidana cyber crime yang mana termasuk dalam tindak pidana khusus dalam hal wewenang penyidikan sudah diatur dalam undang- undang ITE, maka penyidik tindak pidana cyber crime berpedoman pada undang- undang ITE dalam melakukan penyelidikan dan penyidikan.
3. Wewenang Penyidik Dalam Tindak Pidana Khusus Teknologi Informasi dan Transaksi Elektronik (Cyber Crime).
Penerapan ketentuan pidana khusus dimungkinkan berdasarkan asas lex spesialis derogate lex generalis yang mengisyaratkan bahwa ketentuan yang bersifat khusus akan lebih diutamakan dari pada ketentuan yang bersifat umum maka dalam hal penyidikan tindak pidana cyber crime
dalam hal wewenang penyidik juga diatur secara khusus. Penyidikan merupakan salah satu upaya hukum dalam memeriksa bentuk-bentuk perbuatan yang memenuhi unsur-unsur tindak pidana teknologi informasi, sehingga melalui penyidikan dapat diperoleh bukti permulaan yang cukup untuk melaksanakan proses peradilan terhadap pelaku yang patut diduga melakukan tindak pidana informasi.2
a. Wewenang Penyidik Berdasarkan Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2016 Tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2008 Tentang Informasi dan Transaksi Elektronik.
Penegakan hukum (pidana) meliputi tiga tahap. Tahap pertama, tahap formulasi yakni tahap penegakan hukum in abtracto oleh badan pembuat undang-undang (tahap legislatif). Tahap kedua, tahap aplikasi yakni tahap penerapan hukum pidana oleh para aparat penegak hukum mulai dari kepolisian, kejaksaan sampai pengadilan (tahap yudikatif). Tahap ketiga, tahap eksekusi, yakni tahap pelaksanaan hukum pidana secara konkrit oleh aparat-aparat pelaksana pidana (tahap eksekutif atau administrasi).
Undang- undang Nomor 19 Tahun 2016 Tentang Perubahan Atas Undang- undang Nomor 11 Tahun 2008 Tentang Informasi Dan Transaksi Elektronik. Dalam Pasal 42 dinyatakan: Penyidikan terhadap tindak pidana sebagaimana dimaksud dalam Undang-undang ini,
2 Herdiyanto Kusnojacob. 2017.” Peranan Penyidik Dalam Tindak Pidana Cyber Crime”. Jurnal Lex Crimen, Vol. 6. Nomor 6, Agustus 2017. Hal 67.
dilakukan berdasarkan ketentuan dalam Hukum Acara Pidana dan ketentuan dalam Undang-undang ini. 3
Pasal 43 menyebutkan pada ayat:
1) Selain Penyidik Pejabat Polisi Negara Republik Indonesia, Pejabat Pegawai Negeri Sipil tertentu di lingkungan Pemerintah yang lingkup tugas dan tanggung jawabnya di bidang Teknologi Informasi dan Transaksi Elektronik diberi wewenang khusus sebagai penyidik sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang tentang Hukum Acara Pidana untuk melakukan penyidikan tindak pidana di bidang Teknologi Informasi dan Transaksi Elektronik.
2) Penyidikan di bidang Teknologi Informasi dan Transaksi Elektronik sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan dengan memperhatikan perlindungan terhadap privasi, kerahasiaan, kelancaran layanan publik, integritas data, atau keutuhan data sesuai dengan ketentuan Peraturan Perundang-undangan.
3) Penggeledahan dan/atau penyitaan terhadap sistem elektronik yang terkait dengan dugaan tindak pidana harus dilakukan atas izin ketua pengadilan negeri setempat.
4) Dalam melakukan penggeledahan dan/atau penyitaan sebagaimana dimaksud pada ayat (3), penyidik wajib menjaga terpeliharanya kepentingan pelayanan umum.
3 Christian B. Ramopolii. 2014. “Wewenang Khusus Penyidik Untuk Melakukan Penyidikan Tindak Pidana Teknologi Informasi”. Jurnal Lex Crimen, Vol.3, Nomor 3, Mei 2014. Hal. 11
5) Penyidik Pegawai Negeri Sipil sebagaimana dimaksud pada ayat (1) berwenang:
a.Menerima laporan atau pengaduan dari seseorang tentang adanya tindak pidana berdasarkan ketentuan Undang-Undang ini;
b.Memanggil setiap Orang atau pihak lainnya untuk didengar dan/atau diperiksa sebagai tersangka atau saksi sehubungan dengan adanya dugaan tindak pidana di bidang terkait dengan ketentuan Undang- Undang ini;
c.Melakukan pemeriksaan atas kebenaran laporan atau keterangan berkenaan dengan tindak pidana berdasarkan ketentuan UndangUndang ini;
d.Melakukan pemeriksaan terhadap Orang dan/atau Badan Usaha yang patut diduga melakukan tindak pidana berdasarkan Undang-Undang ini;
e.Melakukan pemeriksaan terhadap alat dan/atau sarana yang berkaitan. dengan kegiatan Teknologi Informasi yang diduga digunakan untuk melakukan tindak pidana berdasarkan Undang-Undang ini;
f. Melakukan penggeledahan terhadap tempat tertentu yang diduga digunakan sebagai tempat untuk melakukan tindak pidana berdasarkan ketentuan Undang-Undang ini;
g.Melakukan penyegelan dan penyitaan terhadap alat dan atau sarana kegiatan Teknologi Informasi yang diduga digunakan secara menyimpang dari ketentuan Peraturan Perundang-undangan;
h.Meminta bantuan ahli yang diperlukan dalam penyidikan terhadap tindak pidana berdasarkan Undang-Undang ini; dan/atau
i. Mengadakan penghentian penyidikan tindak pidana berdasarkan Undang- Undang ini sesuai dengan ketentuan hukum acara pidana yang berlaku.
6) Dalam hal melakukan penangkapan dan penahanan, penyidik melalui penuntut umum wajib meminta penetapan ketua pengadilan negeri setempat dalam waktu satu kali dua puluh empat jam.
7) Penyidik Pegawai Negeri Sipil sebagaimana dimaksud pada ayat (1) berkoordinasi dengan Penyidik Pejabat Polisi Negara Republik Indonesia memberitahukan dimulainya penyidikan dan menyampaikan hasilnya kepada penuntut umum.
8) Dalam rangka mengungkap tindak pidana Informasi Elektronik dan Transaksi Elektronik, penyidik dapat berkerja sama dengan penyidik Negara lain untuk berbagi informasi dan alat bukti.
Penjelasan Pasal 43 ayat 5 huruf (h): Yang dimaksud dengan “ahli” adalah seseorang yang memiliki keahlian khusus di bidang Teknologi Informasi yang dapat dipertanggungjawabkan secara akademis maupun praktis mengenai pengetahuannya tersebut.
Undang-Undang ITE Tentang Informasi dan Transaksi Elektronik, Pasal 44: Alat bukti penyidikan, penuntutan dan pemeriksaan di sidang pengadilan menurut ketentuan Undang-Undang ini adalah sebagai berikut:
a.Alat bukti sebagaimana dimaksud dalam ketentuan Perundang- undangan; dan
b.Alat bukti lain berupa Informasi Elektronik dan/atau Dokumen Elektronik sebagaimana dimaksud dalam Pasal 1 angka 1 dan angka 4 serta Pasal 5 ayat (1), ayat (2), dan ayat (3).
Sebagai suatu perundang-undangan yang besifat khusus, dasar hukum maupun keberlakuannya dapat menyimpang dari ketentuan Umum Buku I KUHP, bahkan terhadap ketentuan hukum acara (hukum formal), peraturan perundang-undangan tindak pidana khusus dapat pula menyimpang dari Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana. Kekhususan peraturan perundang- undangan tindak pidana khusus dari aspek norma, jelas mengatur hal-hal yang belum diatur dalam KUHAP.
b. Wewenang Penyidik Berdasarkan Peraturan Menteri Komunikasi dan Informatika RI Nomor 7 Tahun 2016 Tentang Administrasi Penyidikan dan Penindakan Tindak Pidana di Bidang Teknologi Informasi dan Transaksi Elektronik.
Wewenang penyidik dalam tindak pidana teknologi informasi dan transaksi elektronik (cyber crime) secara khusus diatur juga dalam Peraturan Menteri Komunikasi dan Informatika RI Nomor 7 Tahun 2016 Tentang Administrasi Penyidikan dan Penindakan Tindak Pidana di Bidang Teknologi Informasi dan Transaksi Elektronik, agar mengenai kewenangan penyidik cyber crime lebih jelas khususnya bagi PPNS
(penyidik pegawai negeri sipil) yang bertindak sebagai penyidik tindak pidana cyber crime, yaitu disebutkan :
Pada Pasal 7 huruf a sampai dengan huruf i disebutkan PPNS berwenang:
a. menerima Laporan atau Pengaduan atau keterangan dari seseorang tentang adanya Tindak Pidana;
b. memanggil setiap Orang atau pihak lainnya untuk didengar dan/atau diperiksa sebagai Tersangka atau Saksi sehubungan dengan adanya dugaan Tindak Pidana;
c. melakukan Pemeriksaan atas kebenaran Laporan atau Pengaduan atau keterangan berkenaan dengan Tindak Pidana;
d. melakukan Pemeriksaan terhadap Orang dan/atau badan usaha yang patut diduga melakukan Tindak Pidana;
e. melakukan Pemeriksaan terhadap alat dan/atau sarana yang berkaitan dengan kegiatan Teknologi Informasi yang diduga digunakan untuk melakukan Tindak Pidana;
f. melakukan penggeledahan terhadap tempat tertentu yang diduga digunakan sebagai tempat untuk melakukan Tindak Pidana;
g. melakukan penyegelan dan Penyitaan terhadap alat dan/atau sarana kegiatan Teknologi Informasi yang diduga digunakan secara menyimpang dari ketentuan peraturan perundang-undangan dan merupakan Tindak Pidana;
h. meminta bantuan Ahli yang diperlukan dalam Penyidikan dan penindakan terhadap Tindak Pidana; dan/atau
i. mengadakan penghentian Penyidikan Tindak Pidana.
Pada Pasal 18 ayat (1) dan (2) disebutkan kewenangan PPNS dalam hal tertangkap tangan pada tindak pidana cyber crime yang dapat dilakukan tanpa surat printah, yaitu:
Pada Pasal 18 ayat (1) dalam hal tertangkap tangan, PPNS tanpa surat perintah, berwenang melakukan tindakan:
a. membuat Laporan Kejadian;
b. melakukan olah TKP;
c. melakukan proses Penyidikan dan penindakan serta berkoordinasi dengan Penyidik Polri;
d. melakukan Penangkapan dan mengamankan barang bukti yang ada;
e. memasuki rumah, pekarangan, atau ruangan;
f. melakukan Penyitaan benda, alat, dan/atau Sistem Elektronik yang ternyata atau yang patut diduga telah dipergunakan untuk melakukan Tindak Pidana atau benda lain yang dapat dipakai sebagai barang bukti;
g. melakukan Penyitaan terhadap paket atau surat atau benda yang pengangkutannya atau pengirimannya dilakukan oleh kantor pos dan telekomunikasi, jawatan, atau perusahaan komunikasi, atau pengangkutan, sepanjang paket, surat, atau benda tersebut diperuntukkan bagi Tersangka atau yang berasal dari padanya dan
untuk itu kepada Tersangka dan/atau kepada pejabat kantor pos dan telekomunikasi, jawatan, atau perusahaan komunikasi, atau pengangkutan yang bersangkutan, harus diberikan surat tanda penerimaan.
Pada Pasal 18 ayat (2) Dalam hal PPNS melakukan tindakan sebagaimana dimaksud pada ayat (1), PPNS yang bersangkutan harus melaporkannya kepada Atasan PPNS.
D. Proses Penyelidikan dan Penyidikan Dalam Tindak Pidana Cyber Crime
Pada proses penyelidikan dan penyidikan dalam tindak pidana Cyber Crime, dalam hal ini penulis akan menjelaskan dengan disertai gambar yang menjelaskan proses/ tahapan penyelidikan dan penyidikan tindak pidana Cyber Crime yang mana sesuai dengan keterangan dan data yang diberikan oleh penyidik DITRESKRIMSUS POLDA DIY agar dalam pembahasan proses penyelidikan dan penyidikan dalam tindak pidana Cyber Crime ini mudah dipahami oleh pembaca, dalam hal ini penulis akan memisahkan antara proses penyelidikan dan penyidikan walaupun kita ketahui bahwa proses penyelidikan juga sudah termasuk didalam proses penyidikan namun dalam hal ini agar lebih jelas penulis akan membahas dengan memisahkan antara penyelidikan dengan penyidikan.
1. Proses Penyelidikan Pada Tindak Pidana Cyber Crime
Pada proses penyelidikan tindak pidana cyber crime terdapat bebeberapa tahapan yang mana tahapan pada penyelidikan ini adalah
tahapan yang paling awal mulai dari masuknya kasus atau dilaporkannya suatu delik/ tindak pidana kepada penyidik hingga pada tahapan proses penyelidikan dan atau hasil penyelidikan, agar lebih mudah dipahami penulis menjelaskan dalam bentuk gambar/grafis sesuai tahapan pada proses penyelidikan.
Gambaran proses penyelidikan pada tindak pidana cyber crime di Unit Cyber Crime DITRESKRIMSUS POLDA DIY adalah sebagai berikut:
Berdasarkan gambar diatas mengenai proses penyelidikan pada tindak pidana cyber crime yang mana tahapan tersebut dimulai dari :
a. menerima laporan atau pengaduan dari seseorang tentang adanya tindak pidana di bidang Teknologi Informasi dan Transaksi Elektronik;
b. memanggil setiap Orang atau pihak lainnya untuk didengar dan diperiksa sebagai tersangka atau saksi sehubungan dengan adanya dugaan tindak pidana di bidang Teknologi Informasi dan Transaksi Elektronik;
c. melakukan pemeriksaan atas kebenaran laporan atau keterangan berkenaan dengan tindak pidana di bidang Teknologi Informasi dan Transaksi Elektronik;
d. melakukan pemeriksaan terhadap Orang dan/atau Badan Usaha yang patut diduga melakukan tindak pidana di bidang Teknologi Informasi dan Transaksi Elektronik;
e. melakukan pemeriksaan terhadap alat dan/atau sarana yang berkaitan dengan kegiatan Teknologi Informasi yang diduga digunakan untuk melakukan tindak pidana di bidang Teknologi Informasi dan Transaksi Elektronik;
f. melakukan penggeledahan terhadap tempat tertentu yang diduga digunakan sebagai tempat untuk melakukan tindak pidana di bidang Teknologi Informasi dan Transaksi Elektronik;
g. Penangkapan dan penahanan terhadap pelaku tindak pidana di bidang Teknologi Informasi dan Transaksi Elektronik dilakukan sesuai dengan ketentuan hukum acara pidana, dan
h. Masuk pada tahap penyidikan.
Pada tahapan penyelidikan ini sebenarnya hanya sampai pada tahap hasil penyelidikan saja yang merupakan penyelidikan pada suatu kasus dibuktikan kasus tersebut merupakan tindak pidana atau bukan, tetapi dalam hal ini penulis membuat hingga pamanggilan, penggeledahan, penyitaan, penangkapan, dan penahanan, hal tersebut jika pada suatu kasus tindak pidana cyber crime dilakukan tindakan OTT (operasi tangkap tangan) oleh penydik dan atau dalam hal upaya paksa maka pada tahap penyelidikan sudah melakukan pamanggilan, penggeledahan, penyitaan, penangkapan, dan penahanan, dan lainya jadi dalam hal ini disesuaikan dengan kondisi dalam penanganan atau penindakan pada suatu kasus cyber crime, walaupun sebenarnya kita ketahui bahwa penyelidikan merupakan termasuk satu rangkaian dalam proses penyidikan.
2. Proses penyidikan Pada Tindak Pidana Cyber Crime
Pada proses penyidikan tindak pidana cyber crime terdapat bebeberapa tahapan yang mana tahapan pada penyidikan ini adalah tahapan yang dilakukan setelah tahapan penyelidikan dilakukan oleh penyelidik, proses penyidikan dilakukan mulai dari penerbitan SPDP (surat perintah dimualinya penyidikan) hingga pada tahapan penyerahan berkas perkara kepada JPU (Jaksa penuntut umum) dan hingga pada tahap penuntutan yang dilakukan oleh JPU, dalam hal ini agar lebih mudah dipahami penulis
menjelaskan dalam bentuk gambar/grafis sesuai tahapan pada proses penyidikan.
Berikut gambaran proses penyidikan pada tindak pidana cyber crime di Unit Cyber Crime di DITRESKRIMSUS POLDA DIY adalah sebagai berikut :
Gambar 3.2
Proses Penyidikan di Unit Cyber Crime DITRESKRIMSUS POLDA DIY
Berdasarkan gambar diatas mengenai proses penyidikan pada tindak pidana cyber crime yang mana tahapan tersebut dimulai dari :
a. Penerbitan SPDP menandakan dimulainya tugas penyidik untuk mengumpulkan bukti permulaan yang cukup, yaitu sekurang- kurangnya dua alat bukti untuk menetapkan seseorang menjadi tersangka atau untuk menghentikannya nanti.
b. Melakukan penyidikan terhadap alat bukti yang sudah ada dan mencari atau mengumpulkan alat bukti lainnya untuk memperkuat dalam pembuktian dalam persidangan dan atau tidak salah dalam menindak suatu kasus tindak pidana cyber crime.
c. Pemanggilan saksi-saksi dari korban untuk menggali lebih lanjut kasus yang sebenarnya terjadi berdasarkan saksi-saksi dari korban untuk dijadikan alat bukti tambahan pada suatu kasus tindak pidana cyber crime.
d. Pemanggilan saksi- saksi dari terlapor untuk menggali lebih lanjut kasus berdasarkan keterangan saksi-saksi dari terlapor untuk dijadikan alat bukti tambahan dan pertimbaangan dalam penyidikan pada suatu kasus tindak pidana cyber crime.
e. Gelar perkara adalah kegiatan PPNS untuk memaparkan perkara dan tindakan yang akan, sedang, dan telah dilakukan Penyidikan, guna memperoleh kesimpulan.
f. Penetapan tersangka yaitu penaikan status terlapor menjadi tersangka atau seorang yang karena perbuatannya atau keadaannya,
berdasarkan bukti permulaan patut diduga sebagai pelaku tindak pidana cyber crime.
g. Penangkapan dan penahanan terhadap pelaku tindak pidana di bidang Teknologi Informasi dan Transaksi Elektronik dilakukan sesuai dengan ketentuan hukum acara pidana, dan
h. Pembuatan berita acara pemeriksaan tersangka, ini merupakan tahapan yang sudah termasuk dipertengahan proses dalam penyidikan.
i. Penyitaan adalah serangkaian tindakan penyidik untuk mengambil alih dan/atau menyimpan dibawah penguasaannya terhadap benda bergerak atau tidak bergerak, berwujud atau tidak berwujud untuk kepentingan pembuktian dalam Penyidikan, Penuntutan, dan peradilan, dan penyitaan Sistem Elektronik adalah serangkaian tindakan PPNS untuk mengambil alih dan/atau menyimpan di bawah penguasaannya atas Sistem Elektronik, dan/atau untuk menyalin Informasi Elektronik, dan/atau Dokumen Elektronik untuk kepentingan Penyidikan.
j. Masuk pada tahap penyerahan berkas perkara pada JPU dan jika pada tahapan berkas dinyatakan sudah lengkapn dan cukup oleh JPU, maka masuklah hingga tahap penuntutan.
Pada tahapan penyidikan dalam tindak pidana cyber crime ini yang mana dilakukan mulai dari penerbitan SPDP (surat perintah dilakukannya penyidikan) hingga penyerahan berkas perkara kepada JPU
yang dilakukan oleh penyidik pegawai negeri sipil (PPNS), dalam proses penyidikan pada tindak pidana cyber crime sebenarnya tidak berbeda dengan proses penyidikan tindak pidana pada umumnya hanya saja dalam pemeriksaan alat bukti dan hal-hal teknis lainnya yang lebih berhubungan dengan teknologi elektronik dikarenakan tindak pidana cyber crime ini adalah kejahatan yang dilakukan menggunakan instrument serba digital, maka proses peyidikannya juga sebagian besar menggunakan alat elektronik seperti dalam hal pemeriksaan alat bukti elektronik di periksa di laboratorium digital forensik yang mana pada tindak pidana konvensional tidak memerlukan hal-hal tersebut.
Pada tahap penyidikan tindak pidana cyber crime jika dibandingkan dengan tindak pidana konvensional maka dapat dikatakan lebih rumit pada tindak pidana cyber crime, melihat dari pelaku dan korban juga sering pada kenyataanya berbeda kota bahkan berbeda negara, dan mengenai alat bukti juga tidak semudah seperti tindak pidana pada umumnya yang mana alat bukti pada tindak pidana cyber crime juga jika lambat dalam pelaporan maka dengan mudahnya pelaku dapat menghilangkan jejak digitalnya, dan selanjutnya mengenai pemanggilan saksi-saksi juga sangat rumit dalam tindak pidana cyber crime karna sering terkendala dengan jarak yang tidak dekat dengan korban dan pelaku membutuhkan waktu lama dan anggaran yang lebih dalam melakukan penyidikan dalam tindak pidana ini.
3. Proses penyidikan Untuk Semua Tindak Pidana Khusus
Pada proses penyelidikan dan penyidikan tindak pidana khusus secara menyeluruh atau semua tindak pidana khusus terdapat bebeberapa tahapan yang mana tahapan pada penyelidikan yang diawali mulai dari masuknya kasus atau dilaporkannya suatu delik/tindak pidana kepada penyelidik hingga pada tahapan proses penyelidikan dan atau hasil penyelidikan tahapan yang dilakukan setelah tahapan penyelidikan dilakukan oleh penyelidik, dan hingga masuk pada tahap penyidikan yang mana pada awal proses penyidikan dilakukan mulai dari penerbitan SPDP (surat perintah dimualinya penyidikan) hingga pada tahapan penyerahan berkas perkara kepada JPU (Jaksa penuntut umum) dan hingga pada tahap penuntutan yang dilakukan oleh JPU, dalam hal ini agar lebih mudah dipahami penulis menjelaskan dalam bentuk gambar/grafis sesuai tahapan pada proses penyelidikan dan penyidikan pada tindak pidana khusus yang di tangani oleh penyidik DITRESKRIMSUS POLDA DIY.
Berikut gambaran proses penyelidikan dan penyidikan di DITRESKRIMSUS POLDA DIY, untuk semua tindak pidana khusus yang di tangani oleh penyidik DITRESKRIMSUS POLDA DIY, sebagai berikut:
Gambar 3.3
Proses Penyelidikan dan Penyidikan di DITRESKRIMSUS POLDA DIY
(sumber : DITRESKRIMSUS Unit Cyber Crime POLDA DIY)
Pada gambar proses penyelidikan dan penyidikan tersebut menerangkan secara jelas tahapan atau alur dalam penegakan hukum tindak pidana khusus terutama pada proses penyelidikan dan penyidikan, didalam gambar tersebut dijelaskan mulai dari penerimaan laporan dari masyarakat, masuk pada tahap penyelidikan dan penyidikan hingga pada tahap gelar perkara dan pelimpahan berkas kepada jaksa penunntut umum jika semua telah memenuhi ketentuan peraturan perundang-undangan, jika tidak memenuhi misalnya dalam hal alat
bukti kurang dan atau bukan merupakan tindak pidana maka hanya sampai pada tahap penyelidikan proses hukumnya dihentikan.
E. Penentuan Tempat dan Waktu Kejadian Tindak Pidana Secara Umum 1.Penentuan Tempat Kejadian Perkara ( Locus Delicti )
Locus delicti, locus (inggris) yang berarti lokasi atau tempat, secara istilah yaitu berlakunya hukum pidana yang dilihat dari segi lokasi terjadinya perbuatan pidana, locus delicti ini tidak ada ketentuannya di dalam KUHP dan KUHAP, yakni dalam menentukan locus delicti berdasarkan pendapat para ahli hukum pidana (doktrin) salah satunya teori yang di kemukakan oleh Van Hamel dan juga berdasarkan putusan-putusan hakim terdahulu (yurisprudensi) yaitu mnggunakan teori-teori sebagai berikut:4
a.Teori perbuatan fisik (de leer van de lichamelijke daad) , teori Perbuatan Fisik ini yaitu yang harus dianggap sebagai tempat terjadinya tindak pidana (locus delicti) didasarkan kepada perbuatan secara fisik. Itulah sebabnya ajaran ini menegaskan bahwa yang dianggap sebagai tempat terjadinya tindak pidana/locus delicti, adalah tempat dimana perbuatan tersebut dilakukan.
b.Teori bekerjanya alat yang digunakan, teori ini dikenal juga dengan nama de leer van het instrument atau teori Instrumental. Menurut teori ini, yang harus menjadi atau dianggap sebagai locus delicti adalah tempat dimana
4 Adami Chamzawi. 2005, Pelajaran Hukum Pidana1. Jakarta :Raja Grafindo Persada, Hal. 140.
alat yang digunakan menimbulkan akibat tindak pidana. akbiatnya bisa kematian, penderitaan, kerugian dan akibat-akibat lain.
c.Teori akibat, teori Akibat ini didasarkan kepada akibat dari suatu tindak pidana. Menurut ajaran ini bahwa yang dianggap sebagai locus delicti adalah tempat dimana akibat dari pada tindak pidana tersebut timbul.
Tempat kejadian (locus delicti) berhubungan dengan pasal 2-9 KUHP yakni asas teritorial, asas nasionalitas aktif, dan nasionalitas pasif, yang menentukan apakah hukum pidana Indonesia berlaku terhadap tindak pidana atau tidak, selain itu locus delicti juga akan menentukan pengadilan mana yang memiliki kewenangan secara wilayah hukum terhadap kasus tersebut dan ini berhubungan dengan kompetensi relatif, berikut diatas adalah teori- teori yang digunkan unuk menentukan dimana tempat terjadinya perbuatan pidana itu terjadi.
2. Penentuan Waktu Kejadian Perkara ( Tempus Delicti )
Tempus delicti adalah waktu terjadinya tindak pidana, teori dalam penentuan waktu kejadian (tempus delicti), tempus delicti ini tidak ada ketentuannya di dalam KUHP dan KUHAP, yakni dalam menentukan tempus delicti berdasarkan pendapat para ahli hukum pidana (doktrin) salah satunya teori yang di kemukakan oleh Van Hamel dan juga berdasarkan putusan-putusan hakim terdahulu (yurisprudensi) menggunakan teori-teori sebagai berikut:5
5 Ibid.
a. Teori perbuaan fisik, yaitu teori yang dijadikan penentu dalam menentukan kapan suatu delik atau tindak pidana itu terjadi dan atau dilakukan oleh pelaku tindak pidana, yang mana pada waktu dilakukannya tindak pidana tersebut menimbulkan korban yang dirugikan.
b. Teori bekerjanya alat yang digunakan, teori ini menjelaskan dan dijadikan penentu dalam menentukan waktu kejadian perkara, mengenai kapan suatu alat yang digunakan untuk melakukan kejahatan itu diaktifkan dan berakhir hingga memberikan akibat dan atau kerugian pada korban.
c. Teori akibat, teori ini digunakan dalam penentuan waktu kejadian perkara yang mana menjelaskan mengenai kapan akibat mulai timbul yang mengakibatkan korban dirugikan pada saat terjadi suatu delik yang dilakukan oleh pelaku tindak pidana.
Penentuan waktu kejadian berdasarkan terori-teori tersebut diatas yang mana untuk menentukan secara jelas kapan terjadinya suatu tindak pidana yang dialakukan oleh pelaku tindak pidana hingga menimbulkan korban yang dirugikan, dalam hal penentuan waktu kejadian perkara ini tidak diatur secara jelas didalam undang- undang, namun pada prakteknya dalam proses penentuan waktu kejadian perkara (tempus delicti) adalah menggunakan teori-teori tersebut diatas yang berdasarkan yurisprudensi yakni menggunakan, teori perbuatan fisik, teori bekerjanya alat, dan teori akibat.
Waktu kejadian (tempus delicti) yaitu berdasarkan waktu untuk menentukan apakan suatu undang- undang dapat diterapkan terhadap suatu tindak pidana, mengenai penentuan soal waktu kejadian dalam kitab undang- undang hukum pidana tidak dijelaskan secara rinci setra tidak ada ketentuan khusus yang mengaturnya, padahal waktu kejadian (tempus delicti) sangat perlu untuk menentukan berlakunya hukum pidana sebagaimana yang diatur dalam pasal 1 ayat 1 KUHP, yaitu “tidak ada perbuatan yang dapat dihukum selain atas kekuatan peraturan pidana dalam undang- undang yang diadakan pada waktu sebelumnya”(asas legalitas) dan selain itu waktu kejadian (tempus delicti) berkaitan dalam hal menentukan daluwarsa sehingga perlu diketahui saat yang dianggap sebagai waktu permulaan terjadinya kejahatan.
F. Penentuan Tempat dan Waktu Kejadian Tindak Pidana Secara Khusus (Cyber Crime)
Cyber crime adalah sebuah tindakan kejahatan yang mana aktivitasnya menggunakan alat elekronik dan jaringan sebagai media untuk melancarkan aksi kejahatannya, dalam sebuah kejahatan dalam hal penentuan locus dan tempus delicti itu sangat penting terlebih dalam cyber crime yang mana kejahatan ini dapat dilakukan tanpa bersentuhan langsung dengan korban dan waktunya kapan saja bisa dilakukan. Fokus utama dalam locus dan tempus delicti adalah untuk menentukan tempat dan waktu dalam kejahatan, agar dapat diketahui jenis kejahatan dan hukuman yang pantas diberikan terhadap terdakwa berdasarkan hukum dan aturan yang berlaku di Indonesia.
Pelanggaran yang terjadi dan diatur dalam hukum pidana disebut dengan tindak pidana, dan yang berkaitan dengan tindak pidana yaitu tempat dan waktu tindak pidana yang disebut-sebut sebagai unsur tindak pidana walaupun pada kenyataannya ada juga sebagian kecil rumusan tindak pidana tertentu di mana mengenai hal tempat dan waktu untuk menjadi unsur, baik sebagai unsur yang memberatkan, misalnya waktu malam dalam sebuah kediaman, atau sebagai unsur pokok misalnya jalan umum.
a. Penentuan Tempat Kejadian Perkara (Locus Delicti) Tindak Pidana
Cyber Crime
Locus delicti ini tidak ada ketentuannya di dalam UU. ITE dan KUHAP, yakni dalam menentukan locus dan tempus delicti dalam tindak pidana cyber crime yaitu sama atau relevan dengan teori penentuan tempat kejadian pada tindak pidana konvensional yaitu berdasarkan pendapat para ahli hukum pidana (doktrin) salah satunya teori yang di kemukakan oleh Van Hamel dan juga berdasarkan putusan-putusan hakim terdahulu (yurisprudensi), dalam tindak pidana cyber crime yaitu terdapat beberpa teori yang digunakan oleh penyidik cyber crime yakni :6
1) Theory of The Uploader and The Downloader, yang mana teori ini sama dengan teori perbuatan dan teori akibat hanya saja disesuaikan dengan prakek pada ruang lingkup teknolagi informasi, teori ini digunakan dalam penentuan tempat kejadian perkara dalam tindak pidana cyber crime dan pada teori ini menekankan bahwa dalam dunia
6 Gunta Sandi. Tujuan dan Teori- teori Cyber Law.http://www.unpad.ac.id. Diakses 22 Juli 2018 Pukul 09.00 Wib.
cyber terdapat 2 (dua) hal utama yaitu uploader (pihak yang memberikan informasi ke dalam cyber space) dan downloader (pihak yang mengakses informasi), maka dalam hal penentuan tempat terjadinya tindak pidana cyber crime dapat melihat berdasarkan tempat pengiriman (tempat pelaku) dan dapat juga berdasarkan tempat penerimaan (tempat korban).
2) Theory of Law of The Server, teori ini dalam hal penentuan tempat kejadian suatu tindak pidana cyber crime, penyidik memperlakukan server di mana halaman web atau secara fisik berlokasi yang dilacak berdasarkan IP address tempat mereka dicatat atau disimpan sebagai data elektronik, maka dalam hal ini penyidik dapat menentukan tempat kejadian tindak pidana cyber crime berdasarkan dari mana alamat IP yang digunakan pelaku berasal.
3) Theory of International Space, menurut teori ini dalam penentuan tempat terjadinya tindak pidana cyber crime yang mana tindak pidana cyber crime tersebut sudah diluar teritorial Indonesia yakni tindak pidana cyber crime transnasional, maka dalam penentuan tempat kejadian perkara harus melihat hukum yang berlaku dilintas negara yang mana cyber space dianggap sebagai suatu lingkungan hukum yang terpisah dengan hukum konvensional dimana setiap negara memiliki kedaulatan yang sama, namun pada prakateknya tindak pidana cyber crime transnasional tidak terlalu sulit dalam proses
penegakan hukumnya jika suatu negara memiliki kerjasa dalam hal penegakan hukum khususnya dalam hal tindak pidana cyber crime.
Penentuan locus delicti perlu diketahui untuk:
1) Menentukan apakah hukum pidana Indonesia berlaku terhadap perbuatan pidana tersebut atau tidak, ini berhubungan dengan pasal 2- 8 KUHP.
2) Menentukan kejaksaan dan pengadilan mana yang harus mengurus perkaranya. Ini berhubungan dengan kompetensi relatif. Pasal 84 (1) KUHP yang membuat prinsip dasar tentang kompetensi relatif, yakni pengadilan Negeri berwenang mengadili segala perkara tindak pidana yang dilakukan di dalam daerah hukumnya.
3) Sebagai salah satu syarat mutlak sahnya surat dakwaan.
Penentuan locus delicti berdasarkan pasal 84 ayat (2) KUHP yang merupakan legislasi di Indonesia mengatur bahwa pada prinsipnya locus delicti suatu tindak pidana adalah tempat dimana tindak pidana itu dilakukan. Penyidik dapat melakukan locus delicti dengan berasarkan dimana pelaku meng-upload data ke internet/melakukan serangan terhadap korbanya melalui jaringan internet dan/atau server tempat dimana website tersebut berada dan dimana saja sepanjang website dapat diakses melalui internet serta termasuk akibat yang ditimbulkan. Berdasarkan pasal 2 undang-undang ITE, Pemerintah Indonesia memiliki kewenangan untuk menegakkan hukum sepanjang
ada pelanggaran terhadap undang-undang ITE dan/atau ada kepentinga bangsa Indonesia yang dirugikan.
b. Penentuan Waktu Kejadian Perkara (Tempus Delicti) Tindak Pidana Cyber Crime
Pada pasal 8 dalam Undang-Undang ITE secara garis besar berisikan penjelasan mengenai waktu pengiriman dan waku penerimaan pada praktek yang dilakukan dalam ruang lingkup teknologi informasi yang mana dalam menentukan waktu kejadian pada tindak pidana cyber crime dapat merujuk pada Pasal 8 ayat (4) huruf a dan b dan pada hal ini juga relevan dengan teori pada tindak pidana konvensional yakni teori perbuatan dan teori akibat dan pada ruang ringkup cyber crime menjadi teori pengiriman dan penerimaan yang mana sesuai dengan Pasal 8 ayat
(4) huruf a dan b Undang-Undang ITE yaitu:
a. Waktu pengiriman adalah ketika Informasi Elektronik dan/atau Dokumen Elektronik memasuki sistem informasi pertama yang berada di luar kendali Pengirim;
b. Waktu penerimaan adalah ketika Informasi Elektronik dan/atau Dokumen Elektronik memasuki sistem informasi terakhir yang berada di bawah kendali Penerima.
Pada penjelasan pasal diatas dalam penentuan waktu terjadinya suatu tindak pidana cyber crime dapat ditentukan berdasarkan waktu pengiriman yang dilakukan oleh pelaku (uploading) yang mengkibatkan suatu akibat yang merugikan korban yang mana dijelaskan pada pasal 8
ayat (4) huruf a dan Undang- Undang ITE, dan selanjutnya dapat pula berdasarkan waktu penerimaan (downloading) yang dilakukan oleh korban yang merugikan dirinya akibat dari apa yang di upload oleh pelaku tindak pidana cyber crime, yang mana hal ini dijelaskan pada pasal 8 ayat (4) huruf b dan Undang- Undang ITE.
Tempus delicti, tempus dari kata tempo yang berarti waktu, secara istilah yaitu berlakunya hukum pidana yang dilihat dari segi waktu terjadinya perbuatan pidana. Salah satu acuan bagi penyidik dalam melakukan tempus delicti tindak pidana tersebut adalah dengan melihat pada log file yang terdapa dalam barang bukti digital.
Penentuan tempus delicti dalam kejahatan cyber crime dengan kejahatan biasa sama hanya saja yang membedakan adalah kejahatan cyber crime, kejahatan tersebut diakses menggunakan media elektronik yang menghubungkan dengan namanya internet dan secara hukum materil juga sudah ada undang- undang khusus yakni undang- undang ITE yang mengatur mengenai penentuan waktu kejadian dalam tindak pidana cyber crime, sedangkan pada tindak pidana umum dalam penentuan waktu kejadian (tempus delicti) menggunakan teori yang berbeda dimana penentuan waktu kejadian (tempus delicti) dalam teori pidana yakni teori Perbuatan fisik, teori bekerjanya alat yang digunakan, teori akibat yang mana sesuai dengan bagamana kejahatan itu terjadi dan alat yang digunakan dalam melakukan tindak pidana tersebut.
G. Koordinasi Kepolisian Dengan Lembaga Lain Dalam Penanggulangan Tindak Pidana Cyber Crime
Penanggulanan tindak pidana cyber crime oleh kepolisian/ penyidik tentu saja membutuhkan kerjasama atau kordinasi dengan lembaga atau instansi dari pemerintah maupun non pemerintah (swasta), yang mana ada kaitannya dengan informasi dan transaksi elektronik dan juga dengan instansi sesama penegak hukum dalam ruang lingkup nasional maupun internasional guna mempermudah dalam proses penanggulangan tindak pidana cyber crime. Dalam hal ini penulis membagi menjadi 2 (dua) bagian mengenai kordinasi kepolisian denan lembaga lain dalam penanggulangan indak pidana cyber crime yaitu :
1. Koordinasi Kepolisian Dengan Lembaga Lain di Ruang Lingkup Nasional Dalam Penanggulangan Tindak Pidana Cyber Crime
Kepolisian sebagai penyidik dalam melakukan penanggulangan/ proses hukum tindak pidana cyber crime tentu melakukan koordinasi dengan berbagai lembaga/ instansi yang ada di dalam negeri maupun diluar negeri agar mempermudah dalam proses penindakan tindak pidana cyber crime, berikut beberapa lembaga yang ada di dalam negeri yang saling berkoordinasi dengan pihak kepolisian dalam menanggulangi tindak pidana cyber crime :7
a. Koordinasi Dengan Instansi Kejaksaan RI.
7 Wawancara dengan AKP. Safpe Tambatua Sinaga ( Penyidik) Unit cyber crime POLDA DIY, pada tanggal , 27 juni 2019 pukul 08.29 Wib
Kerjasama pihak kepolisian dengan pihak kejaksaan dalam penanganan setiap kasus atau tindak pidana pasti akan selalu berkolaborasi khusus dalam proses penyidikan, dalama hal ini khususnya tindak pidana cyber crime yang mana kejahatan ini dibutuhkan penanganan yang sangat khusus dikarenakan dalam kejahatan ini tidak mudah dalam penanganannya melihat dari luasnya ruang lingkup tindak pidana, dari itu pihak kepolisian dalam hal ini selalu saling berkoordinasi dalam penanganan semua tindak pidana.
Pihak kepolisian dan kejaksaan/JPU adalah dua lembaga yang sangat berpengaruh dalam penanggulangan tindak pidana, khususnya pada proses penyidikan tindak pidana khusus maupun tindak pidana umum yang mana kepolisisan dan kejaksaan adalah lembaga yang dapat dikatakan sebagai lembaga-lembaga yang menjadi penentu suatu kasus tersebut dapat dilanjutkan ketahap persidangan atau tidak berdasarkan hasil penyelidikan dan penyidikan yang telah dilakukan.
b. Koordinasi Dengan Kementerian Komunikasi dan Informatika RI.
Kerjasama pihak kepolisian dengan Kementerian Kominfo RI sudah lama dilakukan yang mana tujuannya untuk melakukan pengamanan dan penegakan hukum dibidang komunikasi dan informatika, yang mana kita ketahui Kementerian Kominfo RI ini adalah Departemen/ kementerian dalam pemerintahan Indonesia yang membidangi urusan komunikasi dan informatika, maka dari itu pihak kepolisian dalam melakukan proses pengamanan dan penegakan hukum
tentunya sangat membutuhkan kerjasama dengan Kementerian Kominfo RI.
Kementerian Kominfo RI adalah lembaga kementerian Negara yang sangat berpengaruh dibidang teknologi informasi nasional yang mana pengendalian teknologi informasi dikendalikan oleh Kementerian Kominfo RI, maka dari itu pihak kepolisian dalam melakukan tugasnya jika memerlukan informasi atau bantuan dari Kementerian Kominfo RI pasti melakukan koordinasi tentunya sesuai peraturan dan perundang- undangan yang berlaku.
c. Koordinasi Dengan Pihak Provider
Kerjasama pihak kepolisian dengan penyedia layanan operator selular ataupun internet service provider yang mana dalam hal kejahatan cyber crime pelaku kejahatan cyber crime tidak luput dari penggunaan layanan provider yang ada di Indonesia, dalam melakukan aksinya pelaku akan menggunakan media internet yang pasti memiliki IP addres (Internet Protocol Address), yang tersimpan dalam server pengelola website/homepage yang dijadikan sarana pelaku dalam melakukan berbagai macam kejahatan cyber crime, maka dari itu pihak kepolisian untuk mempermudah jalannya proses penegakan hukum pada tindak pidana cyber crime melakukan kerjasama dengan semua layanan operator seluler (provider) yang ada di Indonesia dan tentunya sesuai peraturan dan perundang-undangan yang berlaku.
Koordinasi antara pihak kepolisian/ penyidik dengan penyedia layanan operator selular/ provider sangat penting karena mengingat di Indonesia cukup banyak produk- produk dari berbagai provider yang mudah didapat dan dipergunakan oleh publik yang mana dari hal tersebut memeri ruang bagi pelaku- pelaku tindak pidana menggunakan produk- produk dari provider tersebut sebagi sarana dalam melakukan tindak pidana cyber crime, maka dari itu pihak kepolisian selalu melakukan kerjasama dengan semua provider yang ada di Indonesia agar mempermudah dalam proses penegakan hukum tindak pidana cyber crime.
d. Koordinasi Dengan Lembaga Keuangan (Bank)
Kerjasama pihak kepolisian dengan lembaga keuangan (Bank) yaitu Bank BUMN maupun Bank swasta dan tentu saja juga dan BI (Bank Indonesia) yang mana BI adalah sebagai pengatur dan penawas perbankan di Indonesia, dalam hal ini kerjasama dilakukan untutk mempermudah dalam proses penegakan hukum yang mana dalam kejahatan atau tindak pidana tersebut menggunakan jasa perbankan dalam misalnya penipuan online dengan menggunkan jasa perbankan dengan cara transfer uang elektronik dan lain sebagainya, khususnya dalam tindak pidana cyber crime pelaku sangat banyak menggunakan jasa- jasa perbankan dalam melakukan aksi- asksinya, maka dari itu pihak kepolisian dengan BI dan juga semua lembaga keuangan yang ada
di Indonesia melakukan kerjasama untuk mempermudah dalam proses penanggulangan tindak pidana cyber crime khususnya.
Tindak pidana cyber crime sangat banyak yang berhubungan dengan Bank/ lembaga keuangan, misalnya penipuan online, pembobolan Bank dan lain sebagainya, maka pihak kepolisian/penyidik dalam hal penanggulangan tindak pidana cyber crime khususnya pada pidana cyber crime yang menggunakan produk- produk dan layanan Bank di jadikan sebagai sarana dalam melakukan tindak pidana cyber crime, walaupun dalam hal ini dalam prakteknya pihak kepolisian tidak terlalu mudah dalam melakukan koordinasi dengan pihak Bank yang mana misalnya pada kasus-kasus yang berkaitan dengan rahasia Bank dan nama baik Bank tersebut, tetapi koordinasi dalam hal informasi nasabah untuk kepentingan proses hukum tentu saja dijalankan dengan baik dan sesuai aturan yang berlaku.
2. Koordinasi Kepolisian Dengan Lembaga Lain di Ruang Lingkup Interasional Dalam Penanggulangan Tindak Pidana Cyber Crime
Penyidik dalam melakukan penanggulangan/ proses hukum tindak pidana cyber crime tentu melakukan koordinasi dengan berbagai lembaga/ instansi yang tidak hanya di dalam negeri saja yang mana harus melkukan kerjasaman dengan lembaga-lembaga diluar negeri juga agar mempermudah dalam proses penindakan tindak pidana cyber crime, berikut beberapa lembaga yang ada diluar dalam negeri yang saling berkoordinasi
dengan pihak kepolisian Indonesia dalam menanggulangi tindak pidana
cyber crime:8
a. Koordinasi di Lintas Regional ASEAN (Association Of Southeast Asian Nation)
Pada lintas regional (ASEAN) bentuk konkret dari kerjasama yang dilakukan guna menanggulangi tindak pidana pidana di bidang siber telah dilakukan pemerintah Indonesia, diantaranya:
1) ASEAN Plan Of Action To Combat Transnational Crimes Kerjasama tersebut, mencakup kerjasama pernberantasan terorisme, perdagangan obat terlarang, pencucian uang, penyelundupan dan perdagangan senjata ringan dan manusia, bajak laut, tindak pidana internet dan tindak pidana ekonomi intemasional.
2) Traktat Bantuan Hukum Timbal Balik di Bidang pidana (Treaty on Mutual Legal Assistance in Criminal Matter/MLAT), Perjanjian Bantuan Hukum Timbal Balik di bidang pidana (MLAT) telah ditandatangani oleh semua negara anggota ASEAN di Kuala Lumpur, Januari 2006. Traktat ini melandasi kerjasama ASEAN di bidang hukum pidana Indonesia telah meratifikasi MLAT melalui Undang- Undang Nomor l5 Tahun 2008 Tentang Pengesahan Treaty On Mutual Legal Assistance In Criminal Matter/MLAT. Perjanjian ini dibentuk oleh pemerintah Brunei Darussalam, Kamboja, Indonesia,
8 Wawancara dengan AKP. Safpe Tambatua Sinaga ( Penyidik) Unit Cyber Crime POLDA DIY, Pada tanggal , 27 Juni 2019 Pukul 08.29 Wib
Laos, Malaysia, Filipina, Singapura dan Vietnam. Pada kedua bentuk kerjasama di atas merupakan hal konkret dari bentuk perjanjian yang dilakukan Pemerintah Indonesia untuk menanggulangi tindak pidana cyber crime.
b. Koordinasi Dengan Interpol/ ICPO (International Criminal Police Organizaion)
Koordinasi POLRI di lintas global yaitu dengan ICPO (International Criminal Police Organizaion) atau lebih dikenal dengan alamat listriknya ialah INTERPOL yang mana Indonesia resmi menjadi anggota ICPO-Interpol. INTERPOL dalam hal ini bukan merupakan singkatan dari international police, tetapi merupakan kata sandi yang dipergunakan dalam komunikasi internasional antar anggota yang mana bermarkas di Lyon, Perancis dan beranggotkan 190 negara.9 ICPO adalah organisasi yang dibentuk untuk mengkoordinasikan antar kepolisian di seluruh dunia dan dibentuk berdasarkan kongres Polisi Reserse Internasional yang bertujuan untuk membahas beberapa masalah diantaranya ialah mempercepat dan mempermudah investigasi dan penangkapan pelaku tindak pidana, penyempurnaan teknik identifikasi, pusat pengumpulan data tingkat internasional, dan unifikasi prosedur ekstradisi.10
Organisasi ICPO di bentuk untuk menjamin dan mengembangkan kerjasama yang seluas-luasnya antara semua Polisi
9 Sardono, kerjasama internasional di bidang kepolisian, NCB-Indonesia, Jakarta, 1996, Hal. 1
10 Divhubinter Polri, vademikum: ICPO-INTERPOL, Devisi Hubunan Internasional Polri, 2012, Hal. 28
Reserse, dalam batas undang- undang suatu Negara dengan semangat Declaration of Human Right yang universal serta membangun dan mengembangkan lembaga-lembaga yang memberikan kontribusi efektif dalam pencegahan dan pemberantasan kejahatan.
c. Koordinasi Dengan Berdasarkan Perjanjian Kerjasama Antara Dua Negara
Koordinasi antar Negara ini atau disebut juga dengan hubungan bilateral dalam hal penegakan hukum, yang mana sebenarnya kepolisi republik Indonesia cukup banyak melakukan perjanjian kerjasama dengan kepolisian Negara lain khususnya dalam hal kejahatan transnasional seperti cyber crime dan lain sebagainya, maka dalam hal ini penulis memaparkan beberapa contoh kerjasama POLRI dengan kepolisian negara lain yaitu:11
1) Indonesia dan Amerika serikat (POLRI dengan FBI (Federal Bureau Of Investigation))
2) Indonesia dan Australia (POLRI dengan AFP (Australia Federal Police))
Kerjasama antara dua negara dalam menaggulangi tidak pidana transnasional misalnya dalam hal ini tindak pidana cyber crime tentu saja setiap Negara pasti melakukan kerja sama dengan negara lain untuk mempermudah dalam memperoleh informasi terkait pelaku, korban dan
alat bukti, dan juga segala kebutuhan dalam proses penegakan hukum demi saling menjaga keamanan negaranya dari pelaku-pelaku tindak pidana cyber crime.
Sumber :http://repository.umy.ac.id/bitstream/handle/123456789/31438/BAB%20III.pdf?sequence=7&isAllowed=y