Fiqih Informasi

Fiqih Informasi Perspektif Muhammadiyah

Maraknya berita hoax yang tersebar di media sosial tampaknya telah sampai pada titik kulminasi yang sangat mengkhawatirkan. Fenomena demikian sudah selayaknya menjadi perhatian semua elemen, termasuk dalam hal ini organisasi keagamaan di Indonesia. Sebagai bangsa berpenduduk mayoritas Muslim, suara agama yang disuarakan ormas keagamaan menjadi sangat berperan. Ia masih sangat efektif dan relevan untuk melakukan rekayasa sosial guna mendorong masyarakat ke arah yang lebih baik. Pada titik inilah, apa yang akan dilakukan Muhammadiyah dengan merumuskan Fikih Informasi menjadi langkah strategis. Fikih Informasi yang akan dimuktamarkan di Makassar akhir Januari 2018 ini merupakan bagian dari misi Muhammadiyah sebagai gerakan ilmu yang mengajak umat Islam melakukan amar makruf nahi munkar.


Dalam perspektif Muhammadiyah, terminologi fikih tidak melulu dipahami sebagaimana ia dipahami oleh ulama klasik. Fikih dalam literatur klasik sering diidentikkan sebagai kumpulan hukum furu’ (cabang) berupa wajib, sunah, makruh, haram, dan lain sebagainya. Ini membuat fikih sering dianggap oleh banyak orang sebagai disiplin ilmu yang kaku, karena cenderung hitam-putih. Di lingkungan Muhammadiyah, terminologi fikih diperluas maknanya tidak hanya sekadar kumpulan hukum furu’, tapi juga himpunan dari banyak nilai dasar, kaidah dan prinsip dalam beragama. Menurut Syamsul Anwar (Ketua Majelis Tarjih dan Tajdid PP Muhammadiyah), fikih semacam itu dibangun di atas tiga lapisan norma yang saling terkait satu sama lain, yaitu (1) peraturan-peraturan hukum konkret (al-ahkam al-farʻiyyah), (2) asas-asas umum (al-usul al-kulliyyah), dan (3) nilai-nilai dasar (al-qiyam al-asasiyyah). Dengan kata lain kita dapat mengatakan bahwa suatu peraturan hukum kongkret itu berlandaskan kepada atau dipayungi oleh asas umum dan asas umum itu pada gilirannya berlandaskan kepada atau dipayungi oleh nilai dasar.


Nilai-nilai dasar adalah prinsip-prinsip universal agama Islam yang melandasi hukum Islam, seperti keadilan, persamaan, kebebasan, akhlak karimah, persaudaraan dan lain-lain. Nilai-nilai dasar ini dapat terus bertambah dan berkembang seiring kreatifitas mujtahid dalam menggalinya dari dua sumber utama hukum Islam, yaitu al-Quran dan Sunah. Dari nilai-nilai dasar itu diturunkan asas-asas umum hukum Islam. Dari asas umum itulah baru kemudian diturunkan peraturan hukum konkret.


Dalam konteks Fikih Informasi ada beberapa nilai-nilai dasar yang dapat dijadikan pedoman. Sebagai contoh adalah nilai dasar tabayun yang secara eksplisit digambarkan dalam al-Quran pada surat al-Hujurat ayat 6. Dari nilai dasar itu dapat diturunkan asas umum dalam kehidupan komunikasi media sosial berupa “transparansi dan klarifikasi berita.” Dari asas umum ini pada gilirannya diturunkan menjadi peraturan kongkret tentang larangan menyebarkan suatu berita sebelum diketahui validitas sumbernya.


Melalui paradigma fikih semacam itu, kita umat Islam akan lebih mudah menyelesaikan persoalan sosial, politik, ekonomi, dan budaya dari perspektif agama dengan lebih luwes dan tidak kaku. Perluasan makna fikih sebagaimana yang dilakukan Muhammadiyah ini, setidaknya memberikan kontribusi beberapa hal: pertama, mereorientasi wacana fikih yang selama ini telah bekembang. Dengan membangun nalar fikih berlandaskan tiga lapisan norma tersebut, fikih tidak akan lagi dikesankan sebagai disiplin ilmu yang rigid, karena di sana terdapat nilai-nilai filosofis dan asas umum yang melandasi kerangka berpikirnya. Kedua, menginterkoneksikan keilmuan Islam (religious studies) dengan keilmuan umum (non-religious studies). Dengan paradigma fikih semacam itu, penyelesain masalah yang selama ini dilakukan melalui satu kacamata keilmuan, akan dapat menemukan jawaban yang lebih komprehensif dengan diinterkoneksikannya satu disiplin ilmu dengan yang lain. Fikih Informasi ini adalah hasil interkoneksi antara keilmuan Islam dengan ilmu komunikasi/penyiaran, misalnya. Di sisi lain, Muhammadiyah juga telah merumuskan beberapa produk fikih yang lain, misalnya Fikih Anti Korupsi. Artinya persoalan korupsi dalam hal ini tidak dilihat dari perspektif hukum positif an sich, akan tetapi juga ditelusuri dan pada gilirannya diberikan jawaban secara mendalam melalui pendekatan agama.


Akhirnya, Fikih Informasi ini sesungguhnya adalah upaya Muhammadiyah untuk berkontribusi bagi umat Islam dan bangsa Indonesia. Alih-alih ikut meramaikan debat tak berkesudahan yang seringkali kita lihat di media sosial, Muhammadiyah lebih memilih jalur senyap, tanpa riuh tepuk tangan; mempersiapkan rumusan Fikih Informasi ini.

***


Niki Alma Febriana Fauzi

(Dosen Fakultas Agama Islam, Universitas Ahmad Dahlan, Yogyakarta dan Anggota Tim Fikih Informasi Muhammadiyah)

(Tulisan ini pernah dimuat dalam Harian Kedaulatan Rakyat, Februari 2019)

https://ilha.uad.ac.id/fikih-informasi-perspektif-muhammadiyah/

Fiqih Informasi

Penulis mengangkat seputar Fikih Informasi (Fiqh al-Naba’) atau Fikih Informasi, dengan mencuplik sebagian dari draft yang sudah Penulis susun bersama anggota tim lainnya. Revolusi informasi membawa banyak manfaat pada satu sisi, dan memberi pula dampak negatif pada sisi lainnya. Kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi membuat orang semakin mudah untuk mendapat, mengelola, menyimpan, dan mengirim informasi dengan berbagai bentuk dan variasinya.

Komunikasi informasi yang meningkat membawa individu kepada banyak pilihan, sehingga membuat individu lepas dari keterasingan (Cooley, 1909 via Peters & Pooley, 2013: 682-683). Menyadari kompleksitas masalah dan akan efek negatif dari perkembangan teknologi informasi, pemerintah telah menerbitkan UU Nomor 19 tahun 2016 sebagai pengganti UU Nomor 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik (ITE).

Informasi (information) menurut asal katanya berasal dari istilah dalam bahasa Prancis kuno “informatio”, atau dalam bahasa Latin “informare”, yang berarti pembentukan pikiran atau pengajaran. Informasi menurut kamus dapat diberi pengertian sebagai “fakta tentang sesuatu atau tentang seseorang yang diberikan atau dipelajari (https://en.oxforddictionaries.com). Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia, informasi diberi pengertian sebagai: 1) penerangan; 2) pemberitahuan; kabar atau berita tentang sesuatu; 3) keseluruhan makna yang menunjang amanat yang terlihat dalam bagian-bagian amanat itu.

Istilah informasi dapat disejajarkan dengan istilah dalam bahasa Arab “khabar” (bentuk jamaknya akhbaar) yang artinya berita. Adapun dalam Undang-undang No.14 tahun 2008 tentang Keterbukaan Informasi Publik, pasal 1, informasi diberi pengertian sebagai: “Pernyataan, keterangan, gagasan, serta tanda-tanda yang mengandung nilai, makna, dan pesan, baik data, fakta, maupun penjelasannya yang dapat dilihat, didengar, dan dibaca yang disajikan dalam berbagai kemasan dan format sesuai perkembangan teknologi informasi serta komunikasi secara elektronik ataupun non-elektronik.”

Ada beberapa istilah informasi yang dikenal dalam Islam, yaitu Naba’, Khabar, dan I’lam. Menurut Ibnu Manzhur, naba’ sinonim dengan kata khabar. Bentuk pluralnya adalah anba’ (Ibnu Manzhur, t.t.: 4315). Kata naba’ berserta derivasinya disebut sebanyak 68 kali dalam al-Quran. Meskipun sinonim dengan khabar, kata naba’ ini seringkali digunakan untuk menunjukan suatu informasi yang penting. Ibnu Katsir dalam tafsirnya menjelaskan bahwa naba’ bermakna informasi yang luar biasa besar (al-ha’il), mengerikan (al-mufzhi’), dan membuat orang terpukau (al-bahir) (Ibnu Katsir, t.t.: Vol. 15: 227).

Al-Raghib al-Ashfahani mengatakan naba’ adalah informasi yang mengandung faedah besar, yang dapat menghasilkan sebuah pengetahuan pasti (al-‘ilm) atau hipotesa kuat (ghalabah al-zhann). Karenaya, suatu informasi tidak dapat dikatakan naba’ ketika informasi tersebut tidak mengandung tiga hal tersebut (faedah besar, pengetahuan pasti, atau hipotesa kuat). Kata Nabi juga berasal dari isim fa’il naba’ (nabi’ dan nabiy).

Pada kehidupan anak cucu Nabi Adam AS, tentu lebih banyak lagi informasi yang berkembang, dan jauh lebih kompleks dibanding di masa awal kehidupan umat manusia era Nabi Adam AS ketika itu. Namun tak dapat dipungkiri bahwa selain informasi yang benar, tak sedikit pula yang beredar di tengah masyarakat mengandung unsur kepalsuan (hoax).

Nabi Adam AS sendiri pernah terpapar informasi hoax berisi godaan dari Iblis agar Adam AS dan isterinya, Hawa, berkenan memakan buah khuldi. Akibat paparan informasi yang hoax tersebut menjadi penyebab bagi Adam AS dan Hawa untuk pindah dari kehidupan di surga, yang memiliki berbagai fasilitas penuh kenikmatan, menuju kehidupan dunia yang serba kekurangan.

Pada era yang lebih belakangan, yakni masa Nabi Muhammad SAW, beliau juga pernah terpapar informasi hoax, yakni berkembangnya isu tentang dugaan perbuatan keji antara Aisyah (isteri Nabi) dengan seorang sahabat, Safwan bin Mu’attal. Keduanya tertinggal dari rombongan, sebab Aisyah harus mencari kalungnya yang hilang di tengah padang pasir. Kondisi tersebut membuat Aisyah dan Safwan terlambat tiba di Madinah. Namun isu hoax tersebut dikoreksi langsung oleh al-Quran (QS. Al-Nur: 11-22).

Mengingat semakin derasnya arus informasi dalam kehidupan umat manusia saat ini, maka ada beberapa tips yang dapat dijadikan pegangan dalam menyeleksi benar tidaknya sebuah informasi. Ada beberapa aspek etika yang perlu diperhatikan dalam penyampaian dan penerimaan informasi:

  1. Idealnya, seorang produsen informasi harus sifat adil. Menurut Ibnu Hajar al-’Asqalani, dan diperjelas lagi oleh al-Qari, ada 5 hal yang dapat mengurangi sifat adil: a) Suka berdusta (al-kadzib); b) Tertuduh telah berdusta (at-tuhmah bil-kadzib); c) Fasik; d) Al-Jahalah, yang bersangkutan kurang dikenal sebagai perawi hadis; e) Pelaku bid’ah. Adil itu berpihak pada kebenaran dan tidak partisan, serta menjaga muru’ah. Adil di sini menyangkut kualitas pribadi.

Selain adil, juga dikenal istilah dhabith. Jika adil berhubungan dengan kualitas moral dari penyampai informasi, maka sifat dhabith ini lebih terkait dengan kualitas intelektual. Ada yang berpendapat bahwa seorang yang dhabith adalah yang memiliki daya hafal yang sempurna dan memiliki kemampuan menyampaikan hafalannya kepada orang lain. Ada istilah tamm al-dhabth dan ada khafif al-dhabth (kualitas setingkat hadis hasan). Ada juga istilah dhabth al-shadr dan dhabth al-kitab.

Ada lima hal yang mengurangi ke-dhabith-an seseorang: a) Lebih banyak salahnya dalam periwayatan; b) Lebih menonjol lupanya ; c) Riwayat yang disampaikan diduga keras mengandung kekeliruan atau al-wahm; d) Riwayatnya bertentangan dengan periwayatan orang lain yang tsiqah (mukhalafah ‘an al-tsiqah) ; e) Buruk hafalanya (su’u al-hifz). Secara umum, kualitas perawi atau penyampai informasi harus terpercaya (tsiqah). Tsiqah ini merupakan gabungan antara sifat ‘adil dan dhabith.

  1. Melakukan tabayyun langsung (direct clarification) kepada seseorang yang dikaitkan dengan isu negatif yang berkembang terkait diri orang tersebut. Al-Quran telah memperingatkan pentingnya tabayyun ini:

يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا إِنْ جَاءَكُمْ فَاسِقٌ بِنَبَإٍ فَتَبَيَّنُوا أَنْ تُصِيبُوا قَوْمًا بِجَهَالَةٍ فَتُصْبِحُوا عَلَىٰ مَا فَعَلْتُمْ نَادِمِينَ

Hai orang-orang yang beriman, jika datang kepadamu orang fasik membawa suatu berita, maka periksalah dengan teliti agar kamu tidak menimpakan suatu musibah kepada suatu kaum tanpa mengetahui keadaannya yang menyebabkan kamu menyesal atas perbuatanmu itu (QS. al-Hujurat: 6).

  1. Pada umumnya, informasi yang benar tidak menggunakan kata-kata yang bombastis, sarkastis, dan sejenisnya.

  2. Sejauh analisis subjektif tentang seorang figur atau institusi tertentu yang bersifat negative campaign, tentu masuk dalam aspek criticism yang dapat diterima. Hanya informasi yang berbau fitnah (black campaign) yang tidak dibenarkan dan bisa dijerat UU ITE maupun pidana lainnya.

  3. Idealnya, penerima informasi tidak langsung percaya pada sebuah materi atau sumber informasi yang diperoleh, tetapi harus membandingkannya terlebih dahulu dengan sumber informasi yang mainstream lainnya. Misalnya, membaca atau mendengar suatu berita, tidak cukup dari satu portal berita atau satu TV saja. Namun, jauh lebih baik membandingkan dengan portal atau TV lainnya.

  4. Seringkali, seseorang menerima kiriman sebuah gambar, yang boleh jadi itu merupakan hasil editan, atau gambar yang berbeda waktu (jam, tanggal, hari, minggu, bulan, tahun) dan tempat kejadiannya. Untuk kasus seperti ini, link Google Image dapat membantu untuk klarifikasi. Demikian pula tentang video yang diperoleh, boleh jadi sudah mengalami editan.

  5. Jika seseorang menolak sebuah infromasi atau gagasan dari seseorang, fokuslah pada argumen yang disampaikan, hindari sifat apologetik dan personal judgement.

  6. Secara spesifik, terkait isu keagamaan, harus dicermati, apakah sang informan sedang memposisikan dirinya sebagai insider (lebih kental keterlibatan emosionalitas keberagamaan yang subjektif), atau sebagai outsider (lebih memposisikan dirinya sebagai pengkaji, atau seseorang yang sedang melakukan analisis sebagai “pengamat” secara objektif).

  7. Setiap orang, wajar saja memposisikan diri sebagai lover-follower atau pun sebagai hater terhadap suatu isu atau figur tertentu. Jika terjadi pro-kontra tentang suatu isu atau informasi yang tidak bisa dikompromikan, maka jalur yuridis-konstitusional merupakan jalan terbaik untuk dijadikan solusi. Apa pun keputusan hakim di pengadilan harus diterima dengan lapang dada oleh para pihak yang bertikai. Karena yang demikian merupakan cerminan dari cara berdemokrasi yang baik.

  8. Imam Syafi’i, bapak usul fiqh, menyebutkan, bahwa kegiatan penyebaran informasi yang belum diyakini kebenarannya, sebagai: “kebohongan tak terlihat atau tersamar” (al-kadzib al-khafi). Dalam kitabnya al-Risalah, Imam Syafi’i mengemukakan:

أّنَّ اْلكَذِبَ الَّذِي نَهَاهُمْ عَنْهُ هُوَ اْلكَذِبُ اْلخَفِيُّ وَذَلِكَ اْلحَدِيثُ عَمَّنْ لَا يُعْرَفُ صِدْقُهُ.

Sesungguhnya kebohongan yang juga dilarang adalah kebohongan tak terlihat, yakni menceritakan kabar dari orang yang tak jelas kejujurannya (Imam al-Syafi’i, 2006: 267).

  1. Setiap Muslim dilarang mencari-cari aib, kesalahan, dan atau hal yang tidak disukai oleh orang lain, baik individu maupun kelompok, kecuali untuk tujuan yang dibenarkan secara syar’i seperti untuk penegakan hukum atau mendamaikan orang yang bertikai.

  2. Menggunakan kalimat, grafis, gambar, suara dan/atau yang simpel, mudah difahami, tidak multitafsir, dan tidak menyakiti orang lain.

  3. Memilih diksi yang tidak provokatif serta tidak membangkitkan kebencian dan permusuhan.

  4. Kontennya tidak menyebabkan dorongan untuk berbuat hal-hal yang terlarang secara syar’i, seperti pornografi, visualisasi kekerasan yang terlarang, umpatan, dan provokasi.

  5. Penyebaran informasi memuat konten yang benar, bermanfaat, bersifat umum, tepat waktu dan tempat, tepat konteks, dan memiliki hak untuk penyebaran informasi (tidak melanggar hak kekayaan intelektual).

  6. Dalam membagikan informasi dilarang menyebarkan ghibah (penyampaian informasi faktual tentang seseorang atau kelompok yang tidak disukai), fitnah, dan namimah (adu domba). Setiap Muslim yang bermuamalah melalui media sosial diharamkan untuk: (1) melakukan ghibah, fitnah, namimah, dan menyebarkan permusuhan, (2) melakukan bullying, ujaran kebencian, dan permusuhan berdasarkan suku, ras, atau antara golongan, (3) menyebarkan hoax serta informasi bohong meskipun dengan tujuan baik, seperti info tentang kematian orang yang masih hidup, (4) menyebarkan materi pornografi, kemaksiatan, dan segala yang terlarang secara syar’i, dan (5) menyebarkan konten yang benar tetapi tidak sesuai dengan tempat atau waktunya.

  7. Memproduksi, menyebarkan dan/atau membuat dapat diaksesnya konten/informasi yang tidak benar kepada masyarakat hukumnya haram.

  8. Memproduksi dan/atau menyebarkan konten/informasi yang bertujuan untuk membenarkan yang salah atau menyalahkan yang benar, membangun opini agar seolah-olah berhasil dan sukses, dan tujuan menyembunyikan kebenaran serta menipu khalayak, hukumnya haram.

  9. Menyebarkan konten yang bersifat pribadi ke khalayak, padahal konten tersebut diketahui tidak patut untuk disebarkan ke publik, seperti pose yang mempertontonkan aurat, hukumnya haram.

  10. Aktivitas buzzer di media sosial yang menjadikan penyediaan informasi berisi hoax, ghibah, fitnah, namimah, bullying, aib, gosip, dan hal-hal lain sejenis sebagai profesi untuk memperoleh keuntungan, baik ekonomi maupun non-ekonomi, hukumnya haram. Demikian juga orang yang menyuruh, mendukung, membantu, memanfaatkan jasa dan orang yang memfasilitasinya (poin 11-20, lihat Fatwa MUI tentang Media Sosial, No. 24/2017).


Wallahu a’lam bisshawab.


Muhammad Azhar, Dosen FAI-Pascasarjana UMY/Bidang Publikasi Majelis Tarjih PP Muhammadiyah

https://suaramuhammadiyah.id/2018/06/30/fikih-informasi/

Nasihat Bijak dari Kisah Orang Buta dan Gajah

Di seberang Negeri Ghor ada sebuah kota. Semua penduduknya buta. Seorang raja beserta rombongannya lewat dekat kota itu; ia membawa pasukan dan berkemah di gurun. Raja itu mempunyai seekor gajah perkasa, yang digunakannya untuk berperang dan membuat rakyat kagum.

Penduduk kota itu sangat antusias ingin melihat gajah tersebut, dan beberapa dari mereka yang buta pun berlari untuk mendekatinya.

Karena sama sekali tak tahu rupa atau bentuk gajah, mereka hanya bisa meraba-raba, mencari kejelasan dengan menyentuh bagian tubuhnya. Masing-masing hanya menyentuh satu bagian, tetapi berpikir telah mengetahui sesuatu.

Sekembalinya ke kota, orang-orang yang hendak tahu segera mengerubungi mereka. Orang-orang itu tidak sadar bahwa mereka mencari tahu tentang kebenaran kepada sumber yang sebenamya telah tersesat.

Mereka bertanya tentang bentuk dan wujud gajah, dan menyimak semua yang disampaikan.

Orang yang tangannya menyentuh telinga gajah ditanya tentang bentuk gajah. Ia menjawab, "Gajah itu besar, terasa kasar, luas, dan lebar seperti permadani."

Orang yang meraba belalai gajah berkata, "Aku tahu yang lebih benar tentang bentuk gajah. Gajah itu mirip pipa lurus bergema, mengerikan dan suka merusak."

Terakhir, orang yang memegang kaki gajah berkata, "Gajah itu kuat dan tegak, seperti tiang."

Masing-masing hanya menyentuh satu bagian saja, dan keliru memahaminya. Tak ada akal yang tahu segalanya. Semua membayangkan sesuatu yang salah.

Ciptaan tidak mengetahui tentang keilahian. Tak ada jalan dalam pengetahuan ini yang bisa ditempuh dengan kemampuan biasa.

Catatan:

Kisah ini lebih populer dalam versi Rumi, The Elephant in The Dark House, yang dimuat dalam Matsnawi. Guru Rumi, Hakim Sanai, lebih dahulu mengisahkan kisah ini lewat buku pertamanya, sebuah karya klasik The Walled Garden of the Truth.

Kedua kisah tersebut pada dasarnya berbicara tentang hal yang sama, yang menurut tradisi, telah digunakan oleh guru-guru sufi selama berabad-abad.


Sumber: Nasihat Bijak dari Kisah Orang Buta dan Gajah, Jangan Berpikir Kita Tahu Segalanya, https://www.republika.co.id/berita/dunia-islam/tasawuf/11/07/11/lo6a30-kisah-bijak-para-sufi-orangorang-buta-dan-gajah, akses 31/7/21

40 Kata-kata Bijak Tentang Diam

Setiap orang berhak untuk menyuarakan pikiran dan pendapatnya. Namun apakah semua pikiran harus disampaikan? Belum tentu kan, pasalnya nggak semua orang dapat memahami apa yang ingin suarakan. Terlebih lagi, ada beberapa perkataan maupun kalimat yang mungkin harus dijaga sebelum diungkapkan ke orang lain.

Ya jangan sampai menjadi orang yang lepas kendali ketika berbicara. Pasalnya ucapan terkadang lebih tajam dari senjata. Karena perkataan yang sudah kamu sampaikan kepada orang lain tidak dapat kamu tarik kembali. Meskipun kata-kata tersebut kita batalkan, pesan tersebut sudah membekas di pikiran orang lain. Akhirnya terkadang banyak orang memilih untuk diam.

Diam merupakan sebuah tindakan yang mana tidak bersuara dan tidak bicara sepatah kata pun. Terkadang nggak semua pertanyaan harus dijawab dengan kata-kata. Bahkan ada pepatah kono berbunyi diam adalah emas dan bicara adalah perak. Terlepas setuju maupun tidak dengan pepatah tersebut, kadang kita seringkali pada akhirnya menyesal karena terlalu banyak bicara.


  1. "Lebih baik diam tapi tahu, daripada bicara tapi tak mengerti apa yang dibicarakan."

  2. "Jika sekiranya diam itu bijak, lakukanlah! Tapi ketika bijak itu diinjak bicaralah agar mereka diam."

  3. "Diam lebih baik daripada dusta, dan kejujuran lisan itu awal dari kebahagiaan."

  4. "Bilamana kau berkata maka akan menyakiti hati orang lain. Lebih baik kau diam membisu seribu bahasa."

  5. "Terkadang, diam itu lebih baik , daripada bicara tapi tak dihargai, tak dianggap ada."

  6. "Lebih baik tersenyum dan diam seolah semuanya baik-baik saja ketimbang marah dan menangis, lalu banyak orang menanyakan mengapa."

  7. "Mulailah membiasakan diri untuk tidak bicara seenaknya, lebih baik diam daripada bicara yang tak bermanfaat."

  8. "Diam adalah emas tapi bicara baik adalah berlian. Maka berbuat baiklah!"

  9. "Terkadang lebih baik diam daripada menjelaskan apa yang kita rasa, karena menyakitkan ketika mereka hanya bisa mendengar tapi tak bisa mengerti."

  10. "Diam lebih baik daripada mengucapkan kata-kata yang hanya mengandung omong kosong."

  11. "Lebih baik membisu dan bisa menikmati metode dirimu berdaya upaya."

  12. "Seandainya membisu lebih baik, maka biarkanlah pembuktian yang berbicara."

  13. "Berkata-kata itu lebih bagus daripada diam, melainkan membisu itu lebih baik daripada berkata perkara yang menyakitkan hati orang lain.

  14. "Apabila lebih bagus membisu ketimbang mengatakan sesuatu yang tanpa kau sadari membikin seluruh orang hasilnya tahu kebodohanmu."

  15. "Diam bukan berarti tak melakukan apa-apa, berdaya upaya ketika membisu juga adalah perbuatan."

  16. "Orang pendiam itu bukan berarti takut bicara, tetapi lebih berharap selektif dalam menyuarakan kata-kata."

  17. "Kadang, diam itu jauh lebih baik dibandingkan mesti banyak omong dan menjadi pribadi yang sok tahu."

  18. "Orang banyak bicara itu memuakkan, orang pendiam itu menenangkan."

  19. "Adakalanya lebih baik diam ketimbang menyebutkan masalahmu, sebab kamu tahu sebagian orang hanya penasaran, bukan karena mereka peduli."

  20. "Bilamana kamu berkata karenanya akan menyakiti hati orang lain. Lebih baik kau membisu diam seribu bahasa."

  21. "Diam jauh lebih elegan daripada sibuk menghakimi dan mengumbar kesalahan orang lain, kemudian lupa bercermin."

  22. "Jadikanlah diam sebagai sarana atas pembicaraanmu, dan tentukan sikap dengan berpikir." - Imam Syafii

  23. "Tidak semua jawaban harus dikatakan, terkadang diam adalah jawaban yang paling keras bagi seseorang."

  24. "Lebih baik diam dan kelihatan bodoh, daripada banyak bicara dan bodohnya lebih kelihatan." - Cak Lontong

  25. "Diam itu emas ketika kamu tidak memiliki jawaban yang bagus." - Muhammad Ali

  26. "Kadang diam dan menunggu lebih bernilai daripada bergerak tanpa arah." - Bong Chandra

  27. "Diam adalah lebih baik daripada mengucapkan kata-kata yang tanpa makna." - Pythagoras

  28. "Jika kata tak lagi bermakna, lebih baik diam saja." - Iwan Fals, Awang-Awang

  29. "Aku diam, bukan berarti tak memperhatikan." - Fiersa Besari

  30. "Kurasa tak ada yang perlu lagi untuk dijelaskan. Seberapa panjang kata yang ku lontarkan belum tentu membuatnya paham. Aku diam." - Dwitasari

  31. "Bersabar dan diam lebih baik. Jika memang jodoh akan terbuka sendiri jalan terbaiknya. Jika tidak, akan diganti dengan orang yang lebih baik." - Tere Liye

  32. "Terkadang diam lebih bijak dalam menyikapi keadaan dari pada bersikeras memaksa orang lain untuk sekadar memahami." - Enninasya

  33. "Diam bukan berarti tidak melakukan apa-apa, berpikir ketika diam juga merupakan tindakan."

  34. "Jika tidak tahu, lebih baik diam. Tapi memilih diam, bukan berarti tidak tahu."

  35. "Salah satu yang menyakitkan adalah memilih untuk diam dan terlihat salah, walau sebenarnya kamu yang benar."

  36. "Terkadang aku lebih memilih untuk diam, bukan karena aku tak mempunyai kata. tapi karena itu lebih mudah daripada harus menjelaskan segalanya."

  37. "Ada dua hal yang amat baik jika dilakukan, yaitu bicara yang baik atau diam."

  38. "Lebih baik diam dengan apa adanya, daripada banyak bicara namun tak sesuai dengan kenyataan yang ada."

  39. "Lebih baik diam dengan rasa sayang, daripada tersakiti dengan harapan."

  40. "Diam, terkadang diam adalah pilihan terbaik di saat hati dan lidah lelah untuk berkata."


Sumber : Dwiyana Pangesthi, 40 Kata-kata bijak tentang diam, singkat dan penuh makna, https://www.brilio.net/wow/40-kata-kata-bijak-tentang-diam-singkat-dan-penuh-makna-2007222.html, akses 31/7/21

Good News is Good News

Berita Negatif VS Berita Positif

Terdapat adagium yang sudah menjadi klasik di dunia jurnalistik: bad news is good news. Kabar buruk adalah berita yang bagus. Adagium itu tercermin dalam lanskap pemberitaan di berbagai media massa. Kesan yang menyolok adalah dunia seolah-olah hanya diisi kejadian-kejadian yang mencemaskan. Korupsi, kisruh politik, serangan teroris, banjir, kelaparan, dll. Kalau ada yang memberitakan kabar baik, porsinya kecil dan jarang sekali ada media yang menempatkannya di halaman depan.

Sebagaimana disinggung Jhon Tierney di The New York Times, pandangan umum dalam dunia jurnalistik adalah “bad news sells”. Semakin berdarah, semakin bernilai (sebagai berita). Berita baik itu bukan berita. Namun, kecenderungan media yang memberi porsi lebih besar pada “berita buruk” ini belakangan mulai dipertanyakan, terutama eksesnya. Betapa pun kabar-kabar buruk itu memang nyata, akan tetapi tidak sedikit yang cemas hal itu bisa berdampak buruk bagi psikologi para pembaca. Apalagi di era media sosial seperti sekarang, ketika kekerasan verbal dan hoax berseliweran seperti tak ada hentinya.

The Guardian mengutip pendapat pengajar psikologi dan sains kognitif dari Universitas Sheffield, Tom Stafford: alasan kenapa dari dulu berita berpusat pada hal-hal negatif karena itu berhubungan dengan insting ketakutan manusia. Konsekuensinya adalah berita negatif secara umum lebih menarik perhatian.

“Hal itu mengindikasikan ada sesuatu yang layak kita khawatirkan—sesuatu yang membuat kita harus mengubah arah hidup kita, atau bertindak dengan cara tertentu,” kata Tom Stafford. “Itu kenapa kita memberi perhatian lebih pada berita negatif, yang mengindikasikan keadaan tidak berjalan dengan baik, karena itu kita mungkin harus bertindak.”

Sedangkan menurut Seán Dagan Wood, pemimpin redaksi The Positive News, yang juga dikutip The Guardian di artikel yang sama: “Fokus industri [berita] pada berita buruk biasanya bertujuan baik, yang berangkat dari komitmen utama sebagai kontrol sosial (society’s watchdog),” katanya. “Namun, bagi media massa secara keseluruhan mentalitas seperti ini sudah melenceng terlalu jauh. Orang-orang sudah bosan dengan negativitas media.”

Perlahan-lahan sejumlah media besar, seperti di Inggris dan Amerika, mulai membuat rubrik yang mencoba untuk menampilkan “berita baik” atau “berita positif” untuk menyeimbangkannya. Washington Post, misalnya, pada 2014 meluncurkan "The Optimist", kompilasi mingguan berita-berita “yang menginspirasi”. Pada 2016, The Guardian membuat rubrik "Solutions and Innovations". Tak ketinggalan New York Times pun membuat rubrik “This Week in Good News” pada akhir Desember kemarin.

Dari Berita Positif ke Jurnalisme Konstruktif

Penulisan “berita baik” sebenarnya sudah ada sejak 1993 silam. The Positive News yang didirikan Shauna Crockett-Burrows merupakan media pertama yang menggunakan pendekatan baru dalam jurnalisme. Ia mencanangkan tujuan “untuk melawan negativitas dalam media arus utama dan memberitakan orang-orang serta inisiatif-inisiatifnya dalam menciptakan dunia yang sejahtera dan berkelanjutan.” “Bentuk jurnalisme yang lebih positif tidak hanya bermanfaat bagi kesehatan kita,” kata Seán Dagan Wood dikutip Columbia Journalism Review, “tetapi juga akan membuat kita terlibat dengan masyarakat dan itu akan membantu mempercepat proses ditemukannya solusi potensial untuk masalah-masalah yang kita hadapi.”

Dalam perkembangannya oplah The Positive News mencapai 50.000 eksemplar untuk memberitakan berbagai perubahan positif di berbagai bidang kehidupan seperti “ekonomi baru, agrikultur organik, dan energi terbarukan.” The Positive News pun memiliki beberapa edisi seperti di Spanyol, AS, Argentina, dan Hongkong. Sejak saat itu tren menulis berita positif menyebar. Banyak media-media lain, selain The Positive News, yang mengkhususkan memuat berita positif, misalnya seperti Good News Network.

Dari segi bisnis pun aktivitas jurnalistik ini cukup menjanjikan. Konten berita positif kemungkinannya lebih banyak dibagikan dibanding berita konvensional. Jessica Prois, editor eksekutif Good News dan Impact milik Huffington Post, memberi kesaksian: “Pengunjung berita 'Good News' dua kali lebih besar kemungkinannya untuk dibagikan atau memberikan komentar daripada jika dia hanya membaca berita HuffPost biasanya,” katanya kepada Laura Olivier dari The Guardian.

Namun, bagi sebagian jurnalis, usaha menyeimbangkan berita buruk dengan hanya membuat berita baik dipandang tidak cukup. Banyak media yang memuat berita-berita positif lebih mirip infotainment daripada jurnalisme. Padahal ada perbedaan antara berita positif dan berita yang mengaplikasikan jurnalisme konstruktif.

David Bornstein, salah satu pendiri Solution Journalism Network, menjelaskan perbedaan keduanya. “Solusinya bukan memproduksi lebih banyak berita positif melainkan menciptakan lebih banyak pengetahuan, berupaya sungguh-sungguh memahami bagaimana dunia ini bekerja, dan kekuatan apa yang bermain sewaktu [kita] mencoba memecahkan masalah-masalah ini,” katanya pada Lene Bech Sillesen dari Columbia Journalism Review.

Pandangan dari Indonesia

Di Indonesia sendiri praktik yang mirip penulisan berita positif sudah ada sejak 2008. Good News from Indonesia (GNFI) menjadi media pertama yang mengkhususkan diri menulis berita-berita positif tentang Indonesia di berbagai bidang mulai dari budaya, pariwisata, pendidikan, olahraga, militer, sains, ekonomi. Meski demikian, Akhyari Hananto, pendiri sekaligus pemimpin redaksi GNFI, menuturkan pendirian GNFI tidak secara langsung dipengaruhi oleh Shauna Crockett-Burrow dan The Positive News.

“Waktu itu dasar dibentuknya GNFI sebenarnya ada dua. Pertama, kurang baiknya reputasi Indonesia di luar negeri. Kedua pudarnya [sedikit demi sedikit] kebanggaan dan kecintaan anak muda Indonesia pada bangsanya,” katanya ketika dihubungi Tirto.

Namun, Hananto menambahkan, dalam beberapa hal ia memang mencontoh apa yang dilakukan Shauna Crockett-Burrow. Menurutnya GNFI dibentuk untuk memberi informasi alternatif, “untuk mengimbangi banyaknya berita negatif dari televisi dan media mainstream”.

“Sebisa mungkin, setiap artikel, produk visual, dan informasi lain [yang kami buat] akan membawa harapan dan inspirasi pada audience,” tutur lelaki yang juga pendiri situs Seasia; Good News from Southasia ini. Menurut Abdul Manan, Ketua Aliansi Jurnalis Independen (AJI), penulisan berita positif di Indonesia sudah dilakukan oleh sebagian media di Indonesia. Undang-Undang pun memberikan opsi itu.

“Dalam UU No. 40 tahun 1999 tentang Pers, pers memiliki fungsi sebagai media pendidikan, hiburan dan alat kontrol sosial. Berita baik ada pada ranah 'media pendidikan' itu,” katanya kepada Tirto. Namun, Abdul Manan menambahkan penulisan berita positif itu ada plus-minus-nya. “Memang ada kebutuhan untuk memberi tempat bagi berita baik di media di tengah kebosanan publik dengan berita buruk yang mungkin selama ini banyak di media. Tapi tentu saja itu juga harus proporsional. Media menulis sisi tidak baik sebuah peristiwa agar menjadi koreksi. Inilah fungsi kontrol sosial itu,” jelasnya.

---------------------

Sumber: "Good News is Good News: Membaca Tren Jurnalisme Positif", https://tirto.id/cEEg, akses 31/07/21