pembuktian elektronik

Syarat dan Kekuatan Hukum Alat Bukti Elektronik

Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik (“UU ITE”) memberikan dasar hukum mengenai kekuatan hukum alat bukti elektronik dan syarat formil dan materil alat bukti elektronik agar dapat diterima di persidangan.

Apakah Alat Bukti Elektronik itu? Alat Bukti Elektronik ialah Informasi Elektronik dan/atau Dokumen Elektronik yang memenuhi persyaratan formil dan persyaratan materil yang diatur dalam UU ITE.


Pasal 5 ayat (1) UU ITE mengatur bahwa Informasi Eletkronik dan/atau Dokumen Elektronik dan/atau hasil cetaknya merupakan alat bukti hukum yang sah.


Yang dimaksud dengan Informasi Elektronik adalah satu atau sekumpulan data elektronik, termasuk tetapi tidak terbatas pada tulisan, suara, gambar, peta, rancangan, foto, electronic data interchange (EDI), surat elektronik (electronic mail), telegram, teleks, telecopy atau sejenisnya, huruf, tanda, angka, Kode Akses, simbol, atau perforasi yang telah diolah yang memiliki arti atau dapat dipahami oleh orang yang mampu memahaminya. (Pasal 1 butir 1 UU ITE)


Sedangkan yang dimaksud dengan Dokumen Elektronik adalah setiap Informasi Elektronik yang dibuat, diteruskan, dikirimkan, diterima, atau disimpan dalam bentuk analog, digital, elektromagnetik, optikal, atau sejenisnya, yang dapat dilihat, ditampilkan, dan/atau didengar melalui Komputer atau Sistem Elektronik, termasuk tetapi tidak terbatas pada tulisan, suara, gambar, peta, rancangan, foto atau sejenisnya, huruf, tanda, angka, Kode Akses, simbol atau perforasi yang memiliki makna atau arti atau dapat dipahami oleh orang yang mampu memahaminya. (Pasal 1 butir 4 UU ITE)

Pada prinsipnya Informasi Elektronik dapat dibedakan tetapi tidak dapat dipisahkan dengan Dokumen Elektronik. Informasi Elektronik ialah data atau kumpulan data dalam berbagai bentuk, sedangkan Dokumen Elektronik ialah wadah atau ‘bungkus’ dari Informasi Elektronik. Sebagai contoh apabila kita berbicara mengenai file musik dalam bentuk mp3 maka semua informasi atau musik yang keluar dari file tersebut ialah Informasi Elektronik, sedangkan Dokumen Elektronik dari file tersebut ialah mp3.

Pasal 5 ayat (1) UU ITE dapat dikelompokkan menjadi dua bagian. Pertama Informasi Elektronik dan/atau Dokumen Elektronik. Kedua, hasil cetak dari Informasi Elektronik dan/atau hasil cetak dari Dokumen Elektronik. (Sitompul, 2012)

Informasi Elektronik dan Dokumen Elektronik tersebut yang akan menjadi Alat Bukti Elektronik (Digital Evidence). Sedangkan hasil cetak dari Informasi Elektronik dan Dokumen Elektronik akan menjadi alat bukti surat.


Pasal 5 ayat (2) UU ITE mengatur bahwa Informasi Elektronik dan/atau Dokumen Elektronik dan/atau hasil cetaknya merupakan perluasan dari alat bukti hukum yang sah sesuai dengan hukum acara yang berlaku di Indonesia.

Yang dimaksud dengan perluasan di sini harus dihubungkan dengan jenis alat bukti yang diatur dalam Pasal 5 ayat (1) UU ITE. Perluasan di sini maksudnya: (Sitompul, 2012)

  • Menambah alat bukti yang telah diatur dalam hukum acara pidana di Indonesia, misalnya KUHAP. Informasi Elektronik dan/atau Dokumen Elektronik sebagai Alat Bukti Elektronik menambah jenis alat bukti yang diatur dalam KUHAP;

  • Memperluas cakupan dari alat bukti yang telah diatur dalam hukum acara pidana di Indonesia, misalnya dalam KUHAP. Hasil cetak dari Informasi atau Dokumen Elektronik merupakan alat bukti surat yang diatur dalam KUHAP.


Perluasan alat bukti yang diatur dalam KUHAP sebenarnya sudah diatur dalam berbagai perundang-undangan secara tersebar. Misalnya UU Dokumen Perusahaan, UU Terorisme, UU Pemberantasan Korupsi, UU Tindak Pidana Pencucian Uang. UU ITE menegaskan bahwa dalam seluruh hukum acara yang berlaku di Indonesia, Informasi dan Dokumen Elektronik serta hasil cetaknya dapat dijadikan alat bukti hukum yang sah. (Sitompul, 2012).

Bagaimana agar Informasi dan Dokumen Elektronik dapat dijadikan alat bukti hukum yang sah? UU ITE mengatur bahwa adanya syarat formil dan syarat materil yang harus terpenuhi.

Syarat formil diatur dalam Pasal 5 ayat (4) UU ITE, yaitu bahwa Informasi atau Dokumen Elektronik bukanlah dokumen atau surat yang menurut perundang-undangan harus dalam bentuk tertulis. Sedangkan syarat materil diatur dalam Pasal 6, Pasal 15, dan Pasal 16 UU ITE, yang pada intinya Informasi dan Dokumen Elektronik harus dapat dijamin keotentikannya, keutuhannya, dan ketersediaanya. Untuk menjamin terpenuhinya persyaratan materil yang dimaksud, dalam banyak hal dibutuhkan digital forensik. (Sitompul, 2012)

Dengan demikian, email, file rekaman atas chatting, dan berbagai dokumen elektronik lainnya dapat digunakan sebagai alat bukti yang sah. Dalam beberapa putusan pengadilan, terdapat putusan-putusan yang membahas mengenai kedudukan dan pengakuan atas alat bukti elektronik yang disajikan dalam persidangan.


Sumber :

Josua Sitompul, Syarat dan Kekuatan Hukum Alat Bukti Elektronik, https://www.hukumonline.com/klinik/detail/ulasan/cl5461/syarat-dan-kekuatan-hukum-alat-bukti-elektronik/, 19052021

Keabsahan Alat Bukti Elektronik dalam Hukum Acara Pidana

Tentang alat bukti yang sah dalam hukum acara pidana, tentunya kita merujuk ke Pasal 184 ayat (1) Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana (“KUHAP”) sebagai berikut:

  1. keterangan saksi;[1]

  2. keterangan ahli;

  3. surat;

  4. petunjuk;

  5. keterangan terdakwa.

Menurut Yahya Harahap, dalam buku Pembahasan, Permasalahan, dan Penerapan KUHAP: Pemeriksaan Sidang Pengadilan, Banding, Kasasi, dan Peninjauan Kembali (hal. 285), Pasal 184 ayat (1) KUHAP telah menentukan secara “limitatif” alat bukti yang sah menurut undang-undang. Di luar alat bukti itu, tidak dibenarkan dipergunakan untuk membuktikan kesalahan terdakwa. Ketua sidang, penuntut umum, terdakwa atau penasihat hukum, terikat dan terbatas hanya diperbolehkan mempergunakan alat-alat bukti itu saja. Mereka tidak leluasa mempergunakan alat bukti yang dikehendakinya di luar alat bukti yang ditentukan Pasal 184 ayat (1) KUHAP. Yang dinilai sebagai alat bukti, dan yang dibenarkan mempunyai “kekuatan pembuktian” hanya terbatas kepada alat-alat bukti itu saja. Pembuktian dengan alat bukti di luar jenis alat bukti itu, tidak mempunyai nilai serta tidak mempunyai kekuatan pembuktian yang mengikat.

Lalu bagaimana dengan alat bukti elektronik? Apa sah menurut hukum?

Atas dasar Pasal 5 ayat (1), ayat (2) dan Pasal 44 huruf b Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik (“UU ITE”) sebagaimana yang telah diubah oleh Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2016 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik (“UU 19/2016”) informasi elektronik dan/atau dokumen elektronik dan/atau hasil cetakannya merupakan perluasan dari alat bukti hukum yang sah sesuai dengan hukum acara yang berlaku di Indonesia. Karena dalam pertanyaan yang Anda tujukan untuk hukum acara pidana, maka perluasan yang dimaksud adalah Pasal 184 ayat (1) KUHAP.

Diakuinya informasi dan/atau dokumen elektronik sebagai alat bukti elektronik karena keberadaan informasi elektronik dan/atau dokumen elektronik mengikat dan diakui sebagai alat bukti yang sah untuk memberikan kepastian hukum terhadap penyelenggaraan sistem elektronik dan transaksi elektronik, terutama dalam pembuktian dan hal yang berkaitan dengan perbuatan hukum yang dilakukan melalui sistem elektronik.[2]

Tetapi perlu diperhatikan bahwa berdasarkan Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 20/PUU-XIV/2016 dijelaskan sebagai berikut:

Frasa “Informasi Elektronik dan/atau Dokumen Elektronik” dalam Pasal 5 ayat (1) dan ayat (2) serta Pasal 44 huruf b UU ITE bertentangan dengan UUD 1945 dan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat sepanjang tidak dimaknai khususnya frasa “Informasi Elektronik dan/atau Dokumen Elektronik” sebagai alat bukti dilakukan dalam rangka penegakan hukum atas permintaan kepolisian, kejaksaan, dan/atau institusi penegak hukum lainnya yang ditetapkan berdasarkan undang-undang sebagaimana ditentukan dalam Pasal 31 ayat (3) UU No. 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik.

Komisaris Besar Polisi Muhammad Nuh Al-Azhar berpendapat bahwa, pada praktiknya penegak hukum (hakim dan jaksa) terbagi dua pendapat mengenai alat bukti elektronik. Ada yang memposisikan informasi dan/atau dokumen elektronik sebagai alat bukti keenam, ada yang menjadikan alat bukti elektronik sebagai perluasan dari alat bukti di Pasal 184 ayat (1) KUHAP. Menurutnya kedua pendapat itu benar, yang terpenting adalah alat bukti itu di dapat secara sah.

Ia pula menambahkan, bahwa seorang ahli digital forensic akan menentukan keabsahan suatu alat bukti elektronik di persidangan. Berangkat dari prinsip bahwa every evidence can talk, yang dapat membuat alat bukti elektronik “berbicara” adalah seorang ahli digital forensic. Penjelasan ahli tersebut nantinya akan dilakukan dengan cara merekonstruksi alat bukti elektronik, sehingga membuat terang jalannya persidangan.

Seiring berjalannya waktu, menurut hemat kami perkembangan alat bukti pada acara pidana senada dengan apa yang dikatakan oleh Komisaris Besar Polisi Muhammad Nuh Al-Azhar di atas. Sehingga alat bukti elektronik secara sah diakui untuk pembuktian di persidangan. Yang terpenting adalah bagaimana alat bukti itu didapatkan, tentunya harus sesuai hukum yang berlaku. Selain itu, tidak sembarang orang yang dapat menjelaskan mengenai alat bukti elektronik, untuk itu eksistensi digital forensic dibutuhkan dalam penanganan perkara pidana terkait pembuktian dengan alat bukti elektronik.


Dasar Hukum:

  1. Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana;

  2. Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik sebagaimana yang telah diubah oleh Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2016 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik.


Referensi:

M. Yahya Harahap. 2010. Pembahasan Permasalahan dan Penerapan KUHAP: Pemeriksaan Sidang pengadilan, Banding, Kasasi dan Peninjauan Kembali. Jakarta: Sinar Grafika.

Referensi:

  1. Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 65/PUU-VIII/2010;

  2. Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 20/PUU-XIV/2016.

Catatan:

Pendapat Komisaris Besar Polisi Muhammad Nuh Al-Azhar, MSc., CHFI., CEI., ECIH dalam Pelatihan Hukumonline 2019, Memahami Cyber Law, Cyber Crime, dan Digital Forensic dalam Sistem Hukum Indonesia (Angkatan Keenam), Rabu 23 Januari 2019.


[1] Pasal 184 ayat (1) huruf a bertentangan dengan UUD 1945 dan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat sepanjang pengertian saksi tidak dimaknai termasuk pula “orang yang dapat memberikan keterangan dalam rangka penyidikan, penuntutan, dan peradilan suatu tindak pidana yang tidak selalu ia dengar sendiri, ia lihat sendiri dan ia alami sendiri.” (Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 65/PUU-VIII/2010)

[2] Penjelasan Pasal 5 ayat (1) UU 19/2016


Sumber : Dimas Hutomo, Keabsahan Alat Bukti Elektronik dalam Hukum Acara Pidana, https://new.hukumonline.com/klinik/detail/ulasan/lt5c4ac8398c012/keabsahan-alat-bukti-elektronik-dalam-hukum-acara-pidana/, 19052021

ALAT BUKTI ELEKTRONIK DALAM UU-ITE

Oleh BAMBANG PRATAMA (Mei 2020)


Dalam perspektif hukum, salah satu hal baru yang diatur oleh UU-ITE adalah bukti elektronik. Pembaruan tentang alat bukti elektronik sebenarnya telah dijelaskan di dalam penjelasan UU-ITE Tahun 2008 dan kembali ditegaskan di dalam amandemen UU-ITE tahun 2016. Namun demikian, terjadi silang pendapat tentang kedudukan bukti elektronik karena menimbulkan pertanyaan sentral apakah kedudukan bukti elektronik ini merupakan perluasan dari alat bukti yang diatur di dalam hukum formil (KUH Perdata dan KUH Pidana)?


Apabila mengacu pada hukum formil, maka dapat digambarkan sebagai berikut: KUH Pidana, Pasal 184 Undang-undang No. 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana

  1. Keterangan saksi;

  2. Keterangan ahli;

  3. Surat;

  4. Petunjuk;

  5. Keterangan terdakwa


Pasal 164 HIR KUH Perdata Alat-alat bukti, yaitu:

  1. Bukti tertulis;

  2. Bukti saksi;

  3. Persangkaan;

  4. Pengakuan;

  5. Sumpah


Ketentuan hukum formil di atas adalah alat bukti yang selama ini dikenal di dalam hukum positif. Dengan adanya UU-ITE, maka bukti elektronik mengundang silang pendapat apakah keberadaannya adalah perluasan dari alat bukti atau kedudukannya memang benar-benar baru. Silang pendapat tentang bukti elektronik berpotensi untuk terjadi karena di dalam kedudukan bukti baru (selain yang diatur di dalam KUHAP dan HIR) diatur di dalam undang-undang sektoral lainnya, dan kedudukannya sama-sama di posisi undang-undang. Salah satu perdebatan tentang bukti elektronik yang terjadi terlihat di dalam putusan MK No. 20/PUU-XIV/2016, yang mana putusan MK tersebut dimasukan ke dalam amandemen UU-ITE tahun 2016.


Melihat lebih lanjut pada putusan MK No. 20/PUU-XIV/2016 terlihat bahwa salah satu tafsir bukti elektronik adalah ketika dibenturkan dengan undang-undang tindak pidana korupsi. Dalam permohonan uji materi yang diajukan, terlihat bahwa bukti elektronik telah lebih dahulu dikenal didalam pasal 26A Undang-undang No. 20 Tahun 2001 tentang Perubahan atas Undang-undang No. 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi dengan rumusan normanya sebagai berikut:


Alat bukti yang sah dalam bentuk petunjuk sebagaimana dimaksud dalam Pasal 188 ayat (2) Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana, khusus untuk tindak pidana korupsi juga dapat diperoleh dari:

  1. Alat bukti lain yang berupa informasi yang diucapkan, dikirim, diterima, atau disimpan secara elektronik dengan alat optic atau yang serupa dengan itu; dan

  2. Dokumen, yakni setiap rekaman data atau informasi yang dapat dilihat, dibaca, dan atau didengar yang dapat dikeluarkan dengan atau tanpa bantuan sarana, baik yang tertuang di atas kertas, benda fisik apapun selain kertas, maupun yang terekam secara elektronik, yang berupa tulisan, suara, gambar, peta, rancangan, foto, huruf, tanda, angka, atau perforasi yang memiliki makna.


Tafsir tentang bukti elektronik apabila mengacu pada putusan MK No. 20/PUU-XIV/2016 oleh hakim konstitusi diputuskan bahwa setiap bukti elektronik dapat diakui sebagai bukti elektronik di mata hukum selama didapat dengan cara yang tidak melanggar hukum. Jika bukti elektronik di dapat dengan cara melanggar hukum maka tidak dapat dijadikan sebagai bukti elektronik di hadapan hukum. Pandangan ini sebenarnya terlihat dari adanya dissenting opinion terkait bukti elektronik dari hakim Konstitusi, Suhartoyo yaitu sebagai berikut:


Pasal 5 ayat (1) dan ayat (2) yang justru mengakomodir dan memberi perlindungan setiap warga negara yang dilanggar hak privasinya, karena ada dua esensi mendasar yang secara materiil terkandung dalam pasal a quo, yaitu ketentuan yang mengatur mengenai alat bukti informasi elektronik dan/atau dokumen elektronik dan/atau hasil cetakannya, di satu sisi merupakan perluasan alat bukti sebagai bukti petunjuk dan di sisi lain merupakan bukti yang berdiri sendiri di luar alat bukti yang diatur dalam hukum acara perdata dan hukum acara pidana. Sehingga ketentuan Pasal 5 ayat (1) dan ayat (2) UU ITE justru memberi kepastian hukum bahwa informasi elektronik dan/atau dokumen elektronik dan/atau hasil cetakannya adalah alat bukti yang sah.


Berdasarkan putusan hakim konstitusi di atas terlihat bahwa bukti elektronik dapat dilihat menjadi dua bentuk, yaitu: (1) bukti elektronik yang bisa dijadikan sebagai bukti hukum yang sah, dan (2) bukti elektronik yang tidak bisa dijadikan sebagai bukti hukum yang sah. Mengacu pada sumber hukum, di atas maka bukti elektronik seharusnya dilihat sebagai bukti hukum pelengkap dari alat bukti yang selama ini dikenal di dalam hukum acara. Sedangkan dalam hal pengambilan bukti elektronik yang perlu diperhatikan bahwa alat bukti elektronik haruslah diambil oleh pihak yang berwenang, yaitu penegak hukum agar dapat dijadikan sebagai alat bukti yang sah.



Referensi:

  1. Undang-undang No. 19 Tahun 2016 tentang Perubahan atas Undang-undang No. 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Trasaksi Elektronik

  2. Undang-undang No. 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana

  3. Undang-undang No. 20 Tahun 2001 tentang Perubahan atas Undang-undang No. 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi

  4. Putusan Mahkamah Konstitusi No. 20/PUU-XIV/2016

  5. Koesparmono Irsan dan Armansyah, Panduan Memahami Hukum Pembuktian dalam Hukum Perdata dan Hukum Pidana, Gratama Publishing, Bekasi, 2019


klausula eksonerasi

Secara garis besar, Cyber Crime terdiri dari dua jenis, yaitu;

  1. kejahatan yang menggunakan teknologi informasi (“TI”) sebagai fasilitas; dan

  2. kejahatan yang menjadikan sistem dan fasilitas TI sebagai sasaran.

Berdasarkan UU No. 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik (“UU ITE”), hukum Indonesia telah mengakui alat bukti elektronik atau digital sebagai alat bukti yang sah di pengadilan. Dalam acara kasus pidana yang menggunakan Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP), maka UU ITE ini memperluas dari ketentuan Pasal 184 KUHAP mengenai alat bukti yang sah.

Pasal 5

(1) Informasi Elektronik dan/atau Dokumen Elektronik dan/atau hasil cetaknya merupakan alat bukti hukum yang sah.

(2) Informasi Elektronik dan/atau Dokumen Elektronik dan/atau hasil cetaknya sebagaimana dimaksud pada ayat (1) merupakan perluasan dari alat bukti yang sah sesuai dengan Hukum Acara yang berlaku di Indonesia.

(3) Informasi Elektronik dan/atau Dokumen Elektronik dinyatakan sah apabila menggunakan Sistem Elektronik sesuai dengan ketentuan yang diatur dalam Undang- Undang ini.

(4) Ketentuan mengenai Informasi Elektronik dan/atau Dokumen Elektronik sebagaimana dimaksud pada ayat (1) tidak berlaku untuk:

a. surat yang menurut Undang-Undang harus dibuat dalam bentuk tertulis; dan

b. surat beserta dokumennya yang menurut Undang-Undang harus dibuat dalam bentuk akta notaril atau akta yang dibuat oleh pejabat pembuat akta.

Pasal 6

Dalam hal terdapat ketentuan lain selain yang diatur dalam Pasal 5 ayat (4) yang mensyaratkan bahwa suatu informasi harus berbentuk tertulis atau asli, Informasi Elektronik dan/atau Dokumen Elektronik dianggap sah sepanjang informasi yang tercantum di dalamnya dapat diakses, ditampilkan, dijamin keutuhannya, dan dapat dipertanggungjawabkan sehingga menerangkan suatu keadaan.

Menurut keterangan Kepala Unit V Information dan Cyber Crime Badan Reserse Kriminal Mabes Polri, Kombespol Dr. Petrus Golose dalam wawancara penelitian Ahmad Zakaria, S.H., pada 16 April 2007, menerangkan bahwa Kepolisian Republik Indonesia (“Polri”), khususnya Unit Cyber Crime, telah memiliki Standar Operasional Prosedur (SOP) dalam menangani kasus terkait Cyber Crime. Standar yang digunakan telah mengacu kepada standar internasional yang telah banyak digunakan di seluruh dunia, termasuk oleh Federal Bureau of Investigation (“FBI”) di Amerika Serikat.

Karena terdapat banyak perbedaan antara cyber crime dengan kejahatan konvensional, maka Penyidik Polri dalam proses penyidikan di Laboratorium Forensik Komputer juga melibatkan ahli digital forensik baik dari Polri sendiri maupun pakar digital forensik di luar Polri. Rubi Alamsyah, seorang pakar digital forensik Indonesia, dalam wawancara dengan Jaleswari Pramodhawardani dalam situs perspektifbaru.com, memaparkan mekanisme kerja dari seorang Digital Forensik antara lain:

  1. Proses Acquiring dan Imaging

Setelah penyidik menerima barang bukti digital, maka harus dilakukan proses Acquiring dan Imaging yaitu mengkopi (mengkloning/menduplikat) secara tepat dan presisi 1:1. Dari hasil kopi tersebutlah maka seorang ahli digital forensik dapat melakukan analisis karena analisis tidak boleh dilakukan dari barang bukti digital yang asli karena dikhawatirkan akan mengubah barang bukti.

2. Melakukan Analisis

Setelah melakukan proses Acquiring dan Imaging, maka dapat dilanjutkan untuk menganalisis isi data terutama yang sudah dihapus, disembunyikan, di-enkripsi, dan jejak log file yang ditinggalkan. Hasil dari analisis barang bukti digital tersebut yang akan dilimpahkan penyidik kepada Kejaksaan untuk selanjutnya dibawa ke pengadilan.

Dalam menentukan locus delicti atau tempat kejadian perkara suatu tindakan cyber crime, penulis tidak mengetahui secara pasti metode yang diterapkan oleh penyidik khususnya di Indonesia. Namun untuk Darrel Menthe dalam bukunya Jurisdiction in Cyberspace : A Theory of International Space, menerangkan teori yang berlaku di Amerika Serikat yaitu:

  1. Theory of The Uploader and the Downloader

Teori ini menekankan bahwa dalam dunia cyber terdapat 2 (dua) hal utama yaitu uploader (pihak yang memberikan informasi ke dalam cyber space) dan downloader (pihak yang mengakses informasi)

  1. Theory of Law of the Server

Dalam pendekatan ini, penyidik memperlakukan server di mana halaman web secara fisik berlokasi tempat mereka dicatat atau disimpan sebagai data elektronik.

  1. Theory of International Space

Menurut teori ini, cyber space dianggap sebagai suatu lingkungan hukum yang terpisah dengan hukum konvensional di mana setiap negara memiliki kedaulatan yang sama.

Sedangkan pada kolom “Tanya Jawab UU ITE” dalam laman http://www.batan.go.id/sjk/uu-ite dijelaskan bahwa dalam menentukan tempus delicti atau waktu kejadian perkara suatu tindakan cyber crime, maka penyidik dapat mengacu pada log file, yaitu sebuah file yang berisi daftar tindakan dan kejadian (aktivitas) yang telah terjadi di dalam suatu sistem komputer.

Dasar hukum:

  1. Undang-Undang No 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana (KUHAP)

  2. Undang-Undang No. 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik

Kesadaran Budaya Beretika Ruang Digital Indonesia

Pada tanggal 19 Februari 2021, Kapolri menerbitkan Surat Edaran (SE) No.SE/2/11/2021 tentang Kesadaran Budaya Beretika untuk Mewujudukan Ruang Digital Indonesia yang Bersih, Sehat, dan Produktif. SE tersebut dikeluarkan menanggapi permintaan Presiden supaya Polri lebih selektif dalam menangani kasus dugaan pelanggaran UU No.11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik sebagaimana diubah dengan UU No.19 Tahun 2016 (UU ITE).Dalam SE No.SE/2/11/2021, Kapolri meminta jajaran di bawahnya untuk:

  1. Pertama, mengikuti perkembangan pemanfaatan ruang digital yang terus mengalami perkembangan.

  2. Kedua, memahami budaya beretika yang terjadi di ruang digital dengan menginventarisasiberbagai permasalahan dan dampak yang terjadi di masyarakat.

  3. Ketiga, mengedepankan upayapreemptivedan preventif melalui virtual policedan virtual alert yang bertujuan untuk memonitor, mengedukasi, memberikan peringatan, serta mencegah masyarakat dari potensi tindak pidana siber.

  4. Keempat, dalam menerima laporan dari masyarakat, penyidik harusdapat membedakan dengan tegas antara kritik, masukan, hoaks dan pencemaran nama baik yang dapat dipidana.

  5. Kelima, sejak penerimaanlaporan, penyidik harus berkomunikasi dengan para pihak, khususnya pihak korban (tidak diwakilkan) dan memfasilitasi denganmemberi ruang seluas-luasnya kepada para pihak yang bersengketa untuk melakukan mediasi.

  6. Keenam, penyidik melakukan kajian dan gelar perkara secara komprehensif terhadap perkara yang ditangani dengan melibatkan unsur Badan Reserse Kriminal (Bareskrim)/Direktorat Tindak Pidana Siber (Dittipidsiber) dapat melalui zoom meetingdan mengambil keputusan secara kolektif kolegial berdasarkan fakta dan data yang ada.

  7. Ketujuh, penyidik berprinsip hukum pidana menjadi upaya terakhir dalam penegakan hukum (ultimum remidium)dan mengedepankan restorative justicedalam penyelesaian perkara.

  8. Kedelapan, terhadap para pihak dan/atau korban yang akan mengambil langkah damai agar menjadi bagian prioritas penyidik untuk dilaksanakan restorative justice.

  9. Kesembilan, terhadap korban yang tetap ingin perkaranya diajukan ke pengadilan, namun tersangkanya telah sadar dan meminta maaf, maka tidak dilakukan penahanan. Sebelum berkas diajukan ke Jaksa Penuntut Umum (JPU) agar diberikan ruang untuk mediasi kembali.

  10. Kesepuluh, penyidik agar berkoordinasi dengan pihak JPU dalam pelaksanaannya, termasuk memberi saran dalam hal pelaksanaan mediasi pada tingkat penuntutan.

  11. Kesebelas, agar dilakukan pengawasan secara berjenjang terhadap setiap langkah penyidikan yang diambil. Kemudian memberirewarddan punishmentatas penilaian pimpinan secara berkelanjutan.